Wacana Menghidupkan PPHN Lewat Konvensi MPR Mendapat Penolakan Sejumlah Tokoh

Kamis, 28 Juli 2022 – 11:19 WIB
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena. Foto: Humas Fraksi Partai Golkar MPR Ri

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum konstitusi Bivitri Susanti mengungkapkan upaya menghidupkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) melalui konvensi ketatanegaraan adalah tidak bisa diterima secara keilmuan.

Bivitri menganggap upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR sebagai hal yang mengada-ada.

BACA JUGA: Catatan Ketua MPR: Perubahan Iklim dan PPHN untuk Ketahanan Pangan

“Itu ngaco secara keilmuan. Mengada-ada banget. Memang salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi, tetapi konvensi artinya praktik yang berulang-ulang seperti pidato Presiden 17 Agustus. Kalau mengubah suatu substansi, materi, muatan konstitusi atau UU, ini hal berbeda, Tidak ada,” ujar Bivitri Susanti di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

Sebelumnya, rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bersama pimpinan fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amendemen UUD 1945 sebagaiman inisiasi Ketua MPR Bambang Soesatyo.

BACA JUGA: Ketua MPR Ungkap Pentingnya PPHN, Begini Penjelasannya

Kendati demikian, partai-partai belum bersepakat dengan bentuk payung hukum PPHN.

Fraksi Golkar menolak usulan PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR tersebut.

BACA JUGA: Bamsoet Kembali Tegaskan Pentingnya PPHN demi Pembangunan Berkelanjutan

“Rekomendasi Badan Pengkajian MPR adalah wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amendemen UUD 1945, yang oleh Badan Pengkajian MPR disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena.

Bivitri menambahkan konstitusi Indonesia memang sudah tidak lagi punya PPHN. Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, tidak ada haluan negara yang perlu diberikan kepada presiden karena presiden dipilih berdasarkan visi-misinya.

“Saya juga orang yang tidak setuju karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi,” ujar Bivitri.

Menurut Bivitri Susanti, konvensi ketatanegaraan itu adalah praktik ketatanegaraan yang berulang-ulang dan sudah diterima sebagai praktik. Konvensi ketatanegaraan tidak bisa mengubah konstitusi ataupun UU. 

Tanpa Konsekuensi

Direktur PSHK Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Anang Zubaidy menilai tidak tepat upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.

“Kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan? Menurut saya, tidak tepat karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pasca-amendemen UUD 1945,” ujar Anang.

Menurutnya, konvensi ketatanegaraan sebenarnya hukum tidak tertulis. Dikatakan konvensi ketatanegaraan ketika ada perbuatan hukum yang berulang-ulang, dilakukan terus-menerus, dan seolah-olah menjadi keharusan untuk dilakukan.

Namun, praktik tersebut tidak mempunyai landasan hukum tertulis misalnya upacara ataupun pidato presiden pada sidang MPR.

Oleh karena itu, PPHN tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.

Menurut dia, jika hal itu dipaksakan akan membawa dampak yang cukup rumit.

“Kalau dia (PPHN) masuk sebagai konvensi, jelas tidak bisa ada konsekuensi. Kalau dipaksakan, ke mana? Siapa yang mau dipaksakan? Karena dia tidak punya konsekuensi,” lanjutnya.

Zubaidy menduga ada pihak yang ingin mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi dengan kewenangannya.

“Menurut saya, begini, MPR ataupun DPD RI yang menginginkan itu sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan, karena mereka menganggap MPR pasca-amendemen ini kan sebagai lembaga yang tidak punya kewenangan. Dia ada seperti tidak ada. Kemudian cari-cari alasan, peluang yang bisa digunakan. Bisa jadi begitu,” ujar Zubaidy.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler