Waduh, Hal ini Ternyata Bisa Berakibat Depresi Hingga Bunuh diri

Selasa, 21 September 2021 – 21:43 WIB
Ilustrasi - Seorang lansia menjalani suntik vaksin COVID-19. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Jangan anggap remeh gangguan tidur pada orang tua berusia lanjut atau disebut dengan lansia.

Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Anastasia Ratnawati Biromo, gangguan tidur pada lansia dapat menyebabkan risiko depresi hingga bunuh diri.

BACA JUGA: Hamdalah! Tinggal 3 Wilayah di Pulau Jawa Berstatus PPKM Level 4

Dokter lulusan Universitas Indonesia kemudian memaparkan beberapa gangguan pada lansia yang perlu diantisipasi.

Yakni, ketidakpuasan kuantitas/kualitas tidur, kesulitan mempertahankan tidur, terbangun dini hari dan sulit tidur kembali.

BACA JUGA: Awas Bahaya Gelombang Ketiga COVID-19!

Kemudian, tidak bisa melakukan tugas di siang hari dan terjadi setidaknya tiga malam per minggu selama tiga bulan.

"Dampak insomnia pada lansia ini menimbulkan risiko depresi meningkat 23 persen, peningkatan risiko bunuh diri, peningkatan risiko hipertensi, infark miokardial, dan stroke."

BACA JUGA: Stok Vaksin Aman! 5,2 Juta Dosis Sinovac dan Sinopharm Baru Tiba

"Kemudian, peningkatan risiko diabetes dan gangguan metabolik lain, peningkatan prevalensi kanker, insomnia kronik menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya gangguan kognitif," ucap dokter Anastasia dalam webinar 'Brain Awareness Week Indonesia 2021' pada Selasa (21/9).

Dokter Anastasia juga menjelaskan mengenai hubungan gangguan tidur dan depresi pada lansia.

Dia mengatakan kekurangan tidur dapat menyebabkan peningkatan sitokin inflamasi, di mana hal yang sama juga didapatkan pada individu dengan gangguan depresi.

Selain itu, gangguan regulasi neutransmiter monoamin yang terdiri dari serotonin, norepinefrin dan dopamin berkontribusi terhadap abnormalitas tidur REM (Rapid Eye Movement) dan juga berperan dalam terjadinya depresi.

"Gangguan tidur dan faktor lingkungan menyebabkan ekspresi abnormal gen yang mengatur irama sirkandian menyebabkan timbulnya gangguan mood atau episode depresi," kata dokter yang berpraktik di RS. PGI Cikini ini.

Lebih lanjut dr. Anastasia menjelaskan bahwa gejala depresi pada lansia dan orang muda berbeda.

Terkadang gejala yang muncul bertumpang tindih dengan gejala fisik atau gangguan daya pikir.

"Kalau orang muda, mereka lebih gampang bilang sedih atau tidak semangat, kalau pada lansia lebih susah mengekspresikan apa yang dirasakan apalagi kalau ada demensianya."

"Ada lansia mengeluh bukan ke mood yang sedih tapi merasakan rasanya capek terus-terusan atau fisik sehingga depresi pada lansia meski bermakna namun sulit terdeteksi," ucapnya.

Lansia yang mengalami gejala depresi dapat menurunkan minat dan aktivitas fisiknya, sehingga cenderung lebih memilih berbaring saja yang dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan hipertensi yang memang sudah dialami.

Selain itu, depresi pada lansia juga akan mempengaruhi hormon stres kortisol di mana menurunnya jumlah sel imun dan respon imun, naiknya gula darah dan kerusakan oksidatif yang memperberat gangguan kognitif.

Menurut Dokter spesialis saraf dari RSUI Pukovisa Prawirohardjo, jika gangguan tidur itu dialami lebih dari satu bulan dan sudah mengganggu aktivitas sehari-hari, sebaiknya penderita segera berkonsultasi dengan dokter.

Gejala awal gangguan tidur bisa diatasi dengan melakukan sleep hygiene sebelum tidur, yaitu dengan mengatur kondisi kamar tidur tetap sejuk dan tenang, mandi air hangat dan sikat gigi sebelum tidur.(Antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler