Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung

Senin, 10 September 2018 – 23:21 WIB
Penjual daging. Ilustrasi Foto: Cecep Mulyana/dok.JPNN.com

jpnn.com - Deretan daging segar terpajang rapi di etalase Majang Meat Market, Seoul, Korea Selatan (Korsel). Pasar daging terbesar di Korsel itu tak pernah sepi pembeli. Sebaliknya, semakin hari, jumlah pedagang di sana kian bertambah. Sebab, permintaan pasar juga terus meningkat.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Korsel. Meningkatnya konsumsi daging juga terjadi di negara-negara Asia yang lain. Penyebab utamanya adalah pergeseran gaya hidup masyarakat. Kini sebagian besar orang memilih tinggal di kota. Sebagai orang kota, masyarakat pun meninggalkan gaya hidup lama. Termasuk menu santapan.

BACA JUGA: Waspada, ini 7 Dampak Terlalu Banyak Makan Daging

Di kota, masyarakat lebih suka mengonsumsi daging. Sebab, daging lebih mudah didapat. Pasar daging ada di mana-mana. Jika tak mau pergi ke pasar pun, mereka bisa membeli daging di supermarket atau bahkan toko modern dekat rumah.

’’Pertumbuhan pendapatan menjadi faktor pemicu terbesar,’’ ujar David Dawe, ekonom senior Food and Agriculture Organization (FAO) Bangkok, sebagaimana dilansir International Business Times awal pekan.

BACA JUGA: Anak Muda Australia Merasa Lebih Dekat dengan Asia

Penghasilan yang tinggi di kota membuat masyarakat lebih sejahtera. Akses terhadap listrik juga semakin mudah. Semuanya ada asal ada duitnya. Maka, tiap keluarga pasti memiliki lemari pendingin alias kulkas yang digunakan untuk menyimpan daging. Otomatis, pasokan daging di tiap-tiap keluarga tersedia. Demikian juga produk laut yang bisa dibeli dalam kondisi segar dan langsung disimpan di kulkas.

Seiring dengan berubahnya perilaku manusia, nilai sosial juga tidak lagi sama. Penelitian Monash University dan University of Technology Sydney (UTS) menyebutkan bahwa masyarakat modern menjadikan daging sebagai tolok ukur kesejahteraan. Mereka yang mengonsumsi daging adalah orang-orang yang sejahtera. Maka, masyarakat berbondong-bondong beralih ke daging.

BACA JUGA: Petenis Berbakat Asia Genjot Australia Terbuka dan Pariwisata

Asia Research and Engagement (ARE) dalam jurnal berjudul Charting Asia's Protein Journey melaporkan bahwa konsumsi daging menunjukkan tren yang kian meningkat. Demikian pula konsumsi makanan laut. Pada 2050, peningkatannya diprediksi mencapai 78 persen.

’’Itu baik untuk nutrisi, tapi tidak untuk lingkungan,’’ ujar Serena Tan, salah seorang periset ARE, kepada Reuters. Sebelum disembelih untuk kemudian dimanfaatkan dagingnya, sapi mengonsumsi sejumlah besar rumput. Kendati lantas memantik krisis lahan, bukan sumber makanan sapi yang menjadi masalah. Yang menjadi perkara justru kotoran sapi dan gas buangnya.

Sapi merupakan hewan yang gemar kentut. Tiap kali buang gas, ada gas metana yang terlepas. Gas itu juga ada pada kotoran sapi. Gas metana yang terlepas ke udara itulah yang memicu pemanasan global. Jika dibandingkan dengan karbon dioksida, emisi metana 23 kali lipat lebih banyak. Maka, metana jauh lebih digdaya memicu pemanasan global.

Tan juga menjelaskan bahwa peningkatan permintaan daging otomatis membuat kebutuhan lahan peternakan kian tinggi. Pada 2050, dunia membutuhkan peternakan seluas India. Negeri Bollywood itu memiliki area seluas 3.287.263 kilometer persegi atau hampir dua kali lipat luas Indonesia.

Di India, ekspor daging menjadi salah satu pemasukan terbesar negara. Bukan sapi tentu saja, melainkan kerbau dan ternak sejenisnya. Sebab, di India, sapi merupakan hewan yang sakral.

Banyaknya ternak dan rantai produksi daging juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Yaitu, dari 2,9 miliar ton karbon dioksida (CO2) menjadi 5,4 miliar ton per tahun. Itu setara dengan emisi seumur hidup 95 juta mobil.

Peternakan juga membuat konsumsi air melonjak sampai 83 persen. Yaitu, dari 577 miliar meter kubik menjadi 1.054 miliar meter kubik per tahun.

Selain itu, pemakaian antibiotik akan naik. Saat ini kenaikannya mencapai 44 persen. Dari sekitar 27 ribu ton menjadi kira-kira 39 ribu ton.

Ditakutkan, penggunaan antibiotik berlebih akan menimbulkan resistansi. FAO pernah menyatakan bahwa antibiotik kerap disalahgunakan dan dipakai dalam dosis berlebihan di negara-negara Asia Tenggara.

’’Meningkatnya konsumsi daging dan makanan laut di Asia adalah resep kehancuran lingkungan. Kecuali, kita bisa secepatnya merumuskan solusi,’’ kata Tan.

Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Pakistan adalah negara-negara yang punya kontribusi paling besar terhadap percepatan pemanasan global. Itu terjadi karena masyarakat di lima negara tersebut gemar mengonsumsi daging.

Sebaliknya, negara-negara dengan mayoritas penduduk lanjut usia tidak akan banyak berkontribusi. Sebab, mayoritas warganya tidak lagi mengonsumsi daging.

Melarang orang untuk tak mengonsumsi daging dan makanan laut bukan perkara mudah. Karena itu, pemerintah lebih baik merangkul para produsennya. Tujuannya, efek gas rumah kaca bisa diminimalkan.

Cara yang bisa dipraktikkan adalah memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan ternak, hanya menggunakan pakan ternak yang bisa diperbarui, dan memanfaatkan biogas dari kotoran ternak. (sha/c19/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tragedi Tanker Sanchi Sebabkan Kerusakan Lingkungan Parah


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler