jpnn.com, SYDNEY - Bibit yang ditanam Australia itu mulai berbuah. Anak-anak mudanya kian mengenal negara tetangga, begitu pula anak-anak muda dari kawasan sekitar terhadap Australia.
”Tentu saja saya merasa lebih dekat dengan Asia. Bukan karena ibu saya dari Palestina, tapi memang sudah sepatutnya demikianlah hidup bertetangga itu,” kata Leonie Nahhas, anak muda yang ditemui Jawa Pos di Sydney beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Diduga Mata-Mata, Diplomat Rusia Diusir dari Australia
Kepada alumnus Macquarie University, Sydney, tersebut, diajukan pertanyaan: Sebagai anak muda Australia, lebih merasa dekat dengan Asia atau Eropa?
Nahhas tak sendiri dalam perbincangan dengan Jawa Pos dan beberapa media Indonesia di media centre ASEAN-Australia Special Summit pada 18 Maret lalu itu.
BACA JUGA: Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan
Ada Febe Amelia Haryanto, mahasiswa University of New South Wales, penerima beasiswa Australian Award dari Indonesia. Juga, Jared Ivory yang, seperti Nahhas, merupakan penerima beasiswa New Colombo Plan (NCP).
Jawaban senada disampaikan Ivory. ”Sangat lucu kalau sebagai tetangga, Australia tak punya hubungan bagus dengan negara-negara kawasan Indo Pasifik,” kata alumnus Universitas Charles Darwin, Darwin, itu.
BACA JUGA: Warga Australia Tambah Satu Orang Tiap 86 Detik
NCP dan Australian Award hanyalah sebagian dari berbagai ”investasi” Australia untuk membangun jembatan yang kian mendekatkan mereka dengan Indo Pasifik. Khususnya di kalangan anak-anak muda.
Bentuknya macam-macam. Mulai beasiswa, pertukaran pelajar, dialog pemuda, sampai school partnership.
NCP, misalnya, menawarkan kesempatan bagi para sarjana Australia untuk tinggal, belajar, dan mengikuti magang/pelatihan di kawasan Indo Pasifik. Indonesia menjadi negara paling populer yang dipilih para penerima beasiswa NCP. Tak terkecuali Nahhas dan Ivory.
Mengutip rilis Kedutaan Besar Australia di Indonesia, hingga akhir 2018, kelak, bakal ada sekitar 5 ribu mahasiswa Negeri Kanguru belajar dan magang di Indonesia.
Di sisi lain, Australian Award, Endeavour Scholarships and Fellowships, dan International Scholarships to Study Overseas memberikan jalan bagi ribuan mahasiswa dari kawasan Indo Pasifik untuk belajar di Australia.
Di sela ASEAN-Australia Special Summit lalu, dihelat pula Outstanding Youth for the World. Sebuah acara yang mempertemukan belasan remaja Indonesia, dari berbagai latar belakang etnis dan agama, dengan para remaja Australia. Juga dengan background beragam.
Dari semua upaya itulah bibit-bibit perubahan cara pandang tersebut mulai terjadi. ”Setelah tinggal, belajar, dan magang di Indonesia, saya jadi tahu betapa banyak yang ditulis media (Australia) tentang Indonesia itu salah,” kata Ivory yang sempat belajar di Universitas Udayana dan Universitas Gadjah Mada itu.
Begitu pula dengan cara pandang anak-anak muda dari para tetangga Australia. Dengan belajar langsung di sana, mereka jadi paham betapa multikulturalnya Australia. Dan, betapa keberagaman itu dihormati dan di-uri-uri.
Mitos-mitos lama pun berguguran. Begitu pula dengan segala asumsi serta prasangka. Misalnya, asumsi yang menyebut Australia adalah negara ”putih (baca: Eropa)” di kawasan ”kulit berwarna (baca: Asia).”
”Berdasar sebuah survei tahun lalu, mayoritas warga Australia berusia 45 tahun ke bawah lebih merasa dekat dengan Asia ketimbang Eropa,” kata Aaron Connelly, periset di Lowy Institute, kepada para wartawan Indonesia yang diundang ke Sydney oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.
Hanya cukup berjalan lima menit di salah satu jalanan Sydney untuk sadar betapa multikulturalnya Australia. Di tiap tikungan jalan, dengan gampang ditemui orang-orang yang berbicara dalam bahasa ”lu-gue” ala Jakarta atau Melayu medok Malaysia.
Keterbukaan itu juga buah dari bibit yang ditanam Australia di sistem pendidikan mereka. Elizabeth Grace Oktaviani, salah seorang guru Indonesia peserta BRIDGE School Partnership di Heany Park, Victoria, merasakan sendiri betapa para siswa Australia dilatih untuk berpikir kritis.
”Dari sana mereka pun jadi terlatih untuk berbeda pendapat. Yang pada akhirnya membentuk sikap mereka untuki menghormati perbedaan,” kata Grace.
Memang, di kalangan anak-anak primary school dan high school tak sedikit yang masih belum tahu banyak tentang negara-negara tetangga. Bali dan Indonesia, misalnya, dianggap dua negara berbeda.
”Tapi, keingintahuan mereka besar begitu tahu kami dari Indonesia. Mereka tak pernah ragu untuk bertanya,” katanya.
Febe membenarkan. Sebagai rumah dari 190 negara yang warganya ”terwakili” di Australia itu, adaptasi jadi mudah.
”Saya tidak pernah merasa asing di sini. Dan, sama sekali tak pernah mengalami pelecehan atau diskriminasi rasial,” katanya.
Nahhas juga mengenang betapa dirinya diperlakukan dengan hangat oleh orang-orang sekitarnya selama tinggal di Jogjakarta. Selalu saja ada tangan yang siap membantu saat dia butuh sesuatu. Serasa berada di keluarga sendiri.
”Ngomong begini, saya jadi kangen gudeg,” katanya, lantas tersenyum.
Ivory yang duduk di sebelahnya mengamini. ”Saya kangen lebih banyak hal lagi tentang Indonesia. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... ASEAN-Australia Harus Berperan di Kawasan Samudera Hindia
Redaktur & Reporter : Adil