jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penghargaan kepada tiga orang PNS dan karyawan BUMN yang konsisten melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK.
Mereka adalah Wahyu Listyantara selaku pegawai bagian pengamanan pengawalan kereta di PT Kereta Commuter Indonesia; Budi Ali Hidayat selaku penghulu madya dan KUA Kecamatan Cimahi Tengah; dan Apriansyah sebagai Kadis Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
BACA JUGA: Geledah 3 Tempat, KPK Temukan Dokumen Penting Terkait Kasus Juliari Batubara
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan penghargaan kepada individu untuk pelaporan gratifikasi ini merupakan yang pertama diberikan oleh KPK.
"Biasanya kami berikan ke lembaga dengan serangkaian kriteria, tetapi untuk tahun ini saya dan Direktur Gratifikasi, Pak Syarif menemukan laporan yang perlu disampaikan lebih luas ke masyarakat," kata Pahala di gedung KPK Jakarta, Selasa (8/12).
BACA JUGA: Warga Berkerumun di Rumah Ahmad Zaenudin, Hawa Panas Sangat Terasa, Telur pun Matang
Ketiga pelaporan penerimaan gratifikasi itu akan dicantumkan dalam buku program Hari Anti-Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada 9 Desember 2020 ini. Namun perayaannya akan dilakukan pada 16 Desember mendatang.
"Ada tiga orang tahun ini yang kami nilai sangat luar biasa. Organisasi tempat mereka bekerja harusnya merasa beruntung dengan keberadaan mereka, karena kalau pintar itu bisa belajar, tetapi jujur itu melekat," tutur Pahala.
BACA JUGA: Dua Oknum Polisi Berpangkat Bripda Ini Bakal Dipecat dengan Tidak Hormat
Penerima penghargaan pertama, Wahyu Listyantara merupakan junior manager pengamanan pengawalan kereta PT Kereta Commuter Indonesia (KCI).
Dia juga pernah berkarier sebagai anggota Brigade Mobil (Brimob) Polri sejak 2008, namun memutuskan untuk pensiun dini pada 2018, dan sekarang dia menjadi pegawai tetap PT KCI.
Ada satu momentum ketika Wahyu makan siang bersama salah seorang rekanan PT KCI.
Saat itu Wahyu bercerita tentang alasannya pensiun dini dari Brimob, karier di KCI, keluarganya hingga kondisinya yang hidup sendirian di indekos karena sudah berpisah dengan sang istri.
Rekanan PT KCI yang mendengar kisah hidup Wahyu pun bersimpati dan memberikan satu amplop berisi cek senilai Rp 100 juta.
Pemberian itu sebagai bentuk bantuan kepada Wahyu agar dapat membeli rumah untuk tempat tinggal, tanpa ada permintaan kepada Wahyu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Wahyu pun langsung menolak saat itu, namun rekanan PT KCI tadi tetap memaksa. Karena merasa tidak enak, apalagi keduanya sudah mengenal lama, Wahyu pun terpaksa menerima pemberian cek tersebut.
Namun, pada malam harinya dia berkonsultasi kepada temannya soal tindakan apa yang harus dia lakukan atas cek senilai Rp 100 juta itu. Saat itu, Wahyu disarankan melapor ke KPK.
Pada hari berikutnya Wahyu datang ke bank untuk memastikan apakah benar cek tersebut dapat dicairkan. Walhasil, selembar cek itu ternyata bisa dicairkan.
Wahyu lantas melaporkan penerimaan tersebut dan menitipkan uangnya kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) PT KCI sebagai laporan gratifikasi.
"Pak Wahyu ini integritas yang teruji. Pak Wahyu menunjukkan mencairkan cek Rp 100 juta dan dilaporkan ke KPK. Walau tahu itu pasti akan jadi milik negara, jumlahnya tidak usah diingat-ingat, Pak, nanti menyesal," ungkap Pahala dengan nada bercanda.
Penerima penghargaan kedua adalah Budi Ali Hidayat, penghulu madya sekaligus Kepala KUA Cimahi Tengah, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Pada 2019, Budi kerap diberikan uang setiap menjadi penghulu akad nikah oleh keluarga mempelai sebagai ucapan terima kasih.
Padahal, KPK sejak 2013 telah menerbitkan surat edaran yang menyatakan pemberian apa pun kepada petugas pencatat nikah yang menikahkan pasangan mempelai di luar gaji adalah gratifikasi.
Selain itu, Kementerian Agama juga menerbitkan Permenag No. 24/2014 yang menetapkan biaya nikah di KUA adalah gratis, dan di luar KUA ada tarif sebesar Rp 600 ribu. Penghulu juga akan menerima honor dan biaya transportasi dari Kantor.
Nah, Budi beberapa dapat mengambil sikap untuk menolak gratifikasi dari masyarakat, tetapi jika tidak dapat ditolak pada kesempatan pertama, dia segera melaporkan penerimaan itu kepada KPK melalui aplikasi GOL dalam waktu 30 hari kerja dari tanggal penerimaan.
Total laporan Budi adalah sebanyak 88 laporan, terdiri 64 laporan penerimaan dan 24 laporan penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp 16.190.000, dan yang ditetapkan menjadi milik negara sebesar Rp 13.540.000.
Atas tindakannya itu, Budi menjadi pelapor dengan frekuensi pelaporan gratifikasi terbanyak sepanjang 2019-2020.
Pahala mengatakan, Budi konsisten melaporkan gratifikasi ke KPK karena dia percaya itu bukan hak yang harus diterimanya. Bukan masalah nominalnya yang dilihat, tetapi Budi memegang teguh prinsip bahwa dia dibayar negara untuk melayani masyarakat.
"Kami sampaikan ke Ditjen Bimas Islam ada pegawainya di Cimahi namanya Pak Budi, sangat teguh memegang prinsipnya walau harus melapor berkali-kali," jelas Pahala.
Ketiga, Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Apriansyah. Pada 2018 dia bekerja sama dengan rekanan terkait proyek pengerjaan pengaspalan jalan di daerah Mukomuko.
Rekanan itu berkali-kali menyampaikan secara implisit kepada Apriansyah bahwa setelah pengerjaan jalan di lingkungan proyek selesai, dia akan melakukan pengaspalan jalan di halaman depan rumah Apriansyah.
Namun, Apriansyah tidak mengetahui bahwa pengaspalan jalan akan dilaksanakan.
Ternyata sekembalinya Apriansyah melakukan perjalan dinas ke Medan pada 7-9 Desember 2019, dia mendapati jalan akses pribadi menuju rumahnya sudah diaspal oleh pihak rekanan secara sepihak.
Atas penerimaan pengaspalan jalanan pribadi tersebut, Apriansyah kemudian berkoordinasi kepada UPG Kabupaten Mukomuko dan melaporkannya ke Direktorat Gratifikasi KPK sebagai laporan gratifikasi.
Apriansyah bersedia mengganti biaya aspal jalan tersebut sejumlah biaya pengaspalan jalan yang telah diterima sebesar Rp 17.270.000 untuk menjadi milik negara.
"Kabupaten Mukomuko sangat beruntung karena punya kepala dinas yang memegang teguh dan tahu pasti apa itu konflik kepentingan," ucap Pahala.
Menurut Pahala, kepala dinas bertemu pemborong itu biasa, namun Apriansyah tahu pasti kalau pemborong memberikan sesuatu, tidak mungkin itu makan siang gratis.
"Dan dengan kesadaran sendiri (Apriansyah) malah bayar aspal di depan rumahnya, ini contoh luar biasa," pungkas Pahala.(antara/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam