Waisak, Siddharta, dan Buddha

Senin, 16 Mei 2022 – 21:29 WIB
Warga Tionghoa membersihkan patung di Wihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, Bogor. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Hari ini warga Buddhis merayakan Waisak 2566 BE. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Waisak merupakan hari raya bagi penganut Buddhisme untuk memperingati kelahiran, pemenangan (ilmu), dan wafatnya Buddha.

Lantas siapakah Buddha? Nama aslinya ialah Siddharta.

BACA JUGA: Imlek, Wakil Ketua MPR RI Ungkap Peran Gus Dur untuk Kalangan Tionghoa di Indonesia

Orang tua Siddharta, Raja Sudhodhana dan Maya, merupakan keluarga ningrat di Kapilawastu, Nepal. Oleh karena itu, Siddharta pun berkasta kesatria.

Buku 'World Religions Today' karya John L. Esposito, Darrel J Fasching, dan Todd Lewis menyebut Siddharta lahir pada 563 sebelum Masehi (SM). Namun, cendekiawan lain meyakini Siddharta lahir pada 463 SM.

BACA JUGA: Tragis, Anggota TNI AD Tewas Dibunuh, Pelaku Lebih dari Satu Orang

Menurut legenda yang berkembang, kelahiran Siddharta dibarengi tanda-tanda baik dari langit. Orang bijak pada masa itu juga memprediksi Siddharta akan menjadi sosok besar.

"Oleh karena itulah sang anak diberi nama Siddharta, yang berarti 'dia yang mencapai tujuannya'," demikian tertulis di buku itu.

BACA JUGA: Sang Gadis Datang ke Rumah Pacar yang Sepi, Dirayu, Terjadi di Ruang Tamu

Nahas, ibunda Sidhharta meninggal seminggu setelah melahirkannya. Walhasil sang pangeran dibesarkan oleh ayahnya.

Tinggal di istana menjadikan Siddharta bergelimang dengan segala kesenangan duniawi. Dia benar-benar dimanjakan.

Syahdan, pada suatu hari Siddharta bersama kusirnya yang setia pergi keluar istana. Kehidupan di luar istana membuatnya terhenyak.

Legenda dalam teks berbahasa Pali menyebut Siddharta melihat orang sakit, lansia, mayat, dan shramana (pelaku praktik pertapaan yang mencari kesadaran dan kesejatian). Kenyataan tentang empat hal yang dilihat Siddharta di luar tembok istana itu membalikkan pandangannya tentang kehidupan yang indah.

Itulah yang mendorong Siddharta pergi dari istana. Dia memulai pencariannya untuk mengakhiri penderitaan manusia.

Karen Armstrong dalam 'Sejarah Tuhan' menuturkan Siddharta meninggalkan istri, anak, dan istananya pada 538 SM. Selanjutnya, Siddharta pada usia 29 tahun memutuskan menjadi petapa sederhana.

Selama enam tahun selanjutnya, Siddharta menimba ilmu kepada para guru spiritual Hindu. Guru pertamanya adalah seorang shramana bernama Alara Kalama yang mengajarkan cara seseorang mencapat 'tingkat kekosongan' melalui yoga.

Siddharta mampu menguasai itu. Namun, tak puas dengan guru pertama, dia mencari suhu lainnya.

Pencarian itu menuntun Siddharta kepada guru kedua bernama Uddaka Ramaputra. Guru baru itu mengajarkan yoga untuk mencapai pengalaman tentang kondisi trans tertinggi.

Memang Siddharta berhasil mencapai kondisi itu. Namun, dia merasa gagal ketika kembali menjadi diri sendiri dan masih belum bisa terbebas dari ketakutan, penderitaan, dan hawa nafsu.

Kemudian Siddharta bertemu lima petapa lain yang diyakini mampu menghilangkan kamma atau karma jahat menuju pelepasan abadi. Pada periode itu, dia menempa diri makin keras.

Sidharta bertapa dengan praktik ketat yang meliputi puasa ekstrem (hanya makan beberapa butur nasi per hari), pengendalian napas, dan membatasi gerak dalam meditasi yang lama. Dia mengenakan pakaian compang-camping, bahkan ada yang menyebutnya telanjang.

Pada musim dingin, Siddharta tidur di tempat terbuka. Dalam kondisi menggigil, dia berbaring beralaskan jerami.

Praktik itu membuat Siddharta mengalami kerontokan rambut. Tubuhnya pun sangat kurus sehingga tulang-tulangnya terlihat menonjol.

Namun, hal itu tak mengesankannya. Sebab, penyiksaan diri hanya membuatnya lemah.

"Dari pengalaman ini, Siddharta mengerti bahwa kehidupan spiritual paling baik dijalankan sebagai jalan tengah di antara kesengaran indra yang ekstrem dan pertapaan yang begitu keras..." (John L. Esposito, Darrel J Fasching, dan Todd Lewis, 2015:430).

Karen Amrmstrong dalam bukunya, Buddha, menyebut kondisi itulah yang menjadi titik balik proses pencarian Siddharta akan pencerahan. Dia memutuskan mengendalikan sifat dasar manusia dan tidak melawannya.

Siddharta memilih 'jalan tengah' untuk mencari kebahagiaan sejati.

Oleh karena itu, Siddharta tetap menyantap bubur yang disuguhkan seorang perempuan di luar kota Gaya.

Selanjutnya, Siddharta bersumpah menemukan pencerahan atau mati dan bersamadi di bawah pohon bodhi. Dia mengembangkan cara yoga tersendiri, berbeda dari aliran yang sudah ada.

Namun, godaan datang dari makhluk suprnatural bernama Mara. Para Buddhis menganggap Mara merupakan personifikasi kematian, khayalan, dan godaan.

Mara menakuti Siddharta dengan pasukan lelembut yang menyamar sebagai prajurit kejam. Godaan lainnya datang dalam bentuk wanita-wanita pemikat gairah.

Namun, Siddharta berhasil menepis godaan itu. Dia melenyapkan seluruh nafsunya.

Kemenangan atas Mara membawa Siddharta ke tahap pencapaian indra dan batin luar biasa. Dia pun memiliki telepati, kekuatan untuk melayang, bahkan pendengaran dan penglihatan super.

Pencerahan sempurna di bawah pohon bodhi itu menjadi akar istilah Buddha. Selanjutnya, Sidharta lebih dikenal dengan nama Buddha Gautama (menggunakan nama keluarganya) maupun Shakyamuni (Yang Bijaksana).

Setelah pencerahan itu, Buddha menyebarkan ajarannya atau Dhamma. Dia memiliki murid-murid tercerahkan yang dikenal dengan sebutan Arahat.

Buddha wafat pada usia 80 tahun di Kusinara, India. Tubuhnya diperabukan, sedangkan reliknya dibagi menjadi delapan bagian, lalu disimpan di stupa yang kini menjadi salah satu pusat ziarah Buddhis.

Menurut laman worldometers, saat ini jumlah Buddhis di seluruh dunia sekitar 487,5 juta atau 7 persen dari populasi dunia. Di kawasan ASEAN, Buddhisme merupakan agama terbesar kedua setelah Islam.

Ada salah kaprah yang berkembang di kalangan non-Buddhis, yakni menganggap Buddha sebagai Tuhan. Menurut Profesor Imtiyaz Yusuf dari The Center for Buddhist-Muslim Understanding, Mahidol University, Thailand, Buddha bukanlah Tuhan.

"Buddha sendiri mengatakan dia bukan Tuhan. Dia adalah guru," ujar Imtiyaz dalam wawancara yang diunggah ke laman Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 26 Juni 2017.

Akhirulkalam, sebuah bait dari Buddha Vagga di Dhammapada menjadi penutup tulisan ini: tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin, inilah ajaran Para Buddha. (dari berbagai sumber/jpnn.com)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyebab Kecelakaan Bus yang Menewaskan 13 Orang di Mojokerto Bikin Geleng Kepala


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Buddha   Waisak   Siddharta   Imlek  

Terpopuler