Wajib Efisiensi Sebelum Tambah Sumber Energi

Rabu, 06 Desember 2017 – 13:14 WIB
Ketua Umum Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI) Soedjono Respati. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) II di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (6/12).

Salah satu agenda penting dalam munas itu adalah pembahasan peranan upaya konservasi dan efisiensi energi di sektor industri, gedung, dan mobilitas.

BACA JUGA: UID Youth Action, Forum Dialog Generasi Muda

Selama ini, MASKEEI memang tak kenal lelah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hemat energi.

Hal itu berguna untuk menjamin ketersediaan energi bersih dan berkelanjutan  (clean and sustainable energy) serta terjangkau bagi seluruh warga dunia.

BACA JUGA: Pemerintah Terbitkan Surat Berharga Tanpa Masa Pelunasan

Diskusi itu diikuti beberapa pemangku kebijakan seperti Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana, Dirjen Industri Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Kementerian Perindustrian Harjanto, dan Kepala Balitbang Kementerian Perhubungan Umiyatun Astuti.

Hadir pula Kepala Balitbang Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Danis Sumadilaga, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Hallim Kalla, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

BACA JUGA: Jangan Sampai Tarif Listrik Lebih Mahal Dari Energi Primer yang Diterima

“Dengan upaya efesiensi energi melalui penerapan teknologi modern maupun perubahan perilaku pemanfaatan energi, maka akan dicapai pengurangan jumlah konsumsi energi tanpa harus mengalami penurunan manfaat dari pemakaian energi dengan tujuan produktif maupun konsumtif,” kata Ketua Umum MASKEEI Soedjono Respati.

Dia menambahkan, Indonesia selalu berfokus memenuhi pasokan energi dengan menambah kapasitas produksi energi primer dan pembangkitan tenaga listrik nasional.

Namun, menurut Soedjono, Indonesia kurang memperhitungkan fakto pemborosan energi dari sisi pemanfaatan.

Selain itu, subsidi energi yang terus membengkak selama puluhan tahun membuat masyarakat sulit disadarkan tentang pentingnya penghematan energi.

“Di samping itu, kebijakan penghematan energi sering disalahartikan oleh kalangan menengah ke bawah. Mereka seolah-olah harus mengorbankan kenyamanan hidup mereka karena tingkat pemakaian energi yang dinikmatinya masih rendah,” tambah Soedjono.

Menurut dia, kebijakan pemerintah tentang hemat energi tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Jika dikaitkan dengan upaya mitigasi dampak perubahan iklim global, jelas Soedjono, masalah energi akan menjadi tantangan semakin serius untuk mencapai sasaran Perjanjian Paris 2015.

Sebab, kebutuhan energi dari negara-negara berkembang terus meningkat.

Sedangkan negara-negara itu masih sangat tergantung dari energi fosil yang pemanfaatannya menimbulkan dampak gas rumah kaca (GRK).

Menurut dia, upaya efisiensi energi tidak hanya membuat energi lebih produktif, tetapi juga mampu menghemat atau mengonservasi jumlah energi yang dipakai karena pengurangan jumlah pemakaiannya.

“Saat ini, hasil dari upaya efisiensi energi dianggap sebagai sumber energi pertama (first fuel). Artinya, sebelum kita menambah sumber energi untuk keperluan apa pun, kita harus memenuhi kebutuhan kita melalui efisiensi energi,” kata Soedjono. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Investasi dengan Dana Haji Diributkan, Kagak Malu Ketinggalan dari Malaysia?


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler