jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyoroti hilangnya frasa 'perkawinan yang sah' pada definisi keluarga dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).
HNW yang akrab disapa meminta pengertian keluarga disesuaikan dengan yang tercantum dalam Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945.
BACA JUGA: Pro dan Kontra RUU KIA, Rahmad DPR: Aturan Ini demi Selamatkan Masa Depan Bangsa
Sebagai informasi, Pasal 1 RUU KIA mendefinisikan keluarga hanya sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas beberapa anggota keluarga.
Padahal di UUD 1945 terkait keluarga, jelas ada frasa 'melalui perkawinan yang sah'.
BACA JUGA: RUU KIA Resmi Jadi Inisiatif DPR, Puan: Pedoman Bagi Generasi Penerus Jadi SDM Unggul
“Sejak awal saya mengusulkan agar rancangan undang-undang ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, termasuk soal definisi keluarga," ujar HNW.
Menurut HNW, definisi keluarga di RUU KIA mestinya diikat dengan kalimat melalui perkawinan yang sah sebagaimana terdapat di Pasal 28 ayat(1) UUD 1945.
BACA JUGA: Peringati Hari Kesehatan Nasional, Puan Singgung RUU KIA dan Persoalan Stunting
"Pada pembahasan awal forum panja, usulan tersebut telah disetujui. Namun anehnya ketentuan konstitusi dengan frasa perkawinan yang sah tersebut justru hilang pada draf akhir RUU KIA yang diserahkan oleh Panja Pemerintah kepada Komisi VIII DPR di rapat pengambilan keputusan hari ini,” kata Hidayat kepada forum Rapat Kerja Komisi VIII dan Panja Pemerintah RUU KIA, Senin (25/3).
Anggota DPR Fraksi PKS ini mengingatkan pemerintah agar selalu taat pada payung hukum UUD 1945 dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang.
Hal ini bertujuan agar seluruh produk undang-undangnya tidak bertentangan dengan konstitusi.
HNW menduga tidak dimasukkannya frasa perkawinan yang sah ke dalam definisi keluarga di RUU KIA, karena Pasal 28B ayat (1) yang jelas-jelas terkait pengaturan keluarga, justru tidak dimasukkan dalam dasar hukum pembentukan RUU KIA.
Padahal, Pasal 28B ayat (2) turut dimasukkan ke dalam dasar hukum.
Di mana seharusnya antara ayat(1) dan (2) Pasal 28B merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
HNW menyebut ibu dan anak yang menjadi pengaturan RUU ini adalah hubungan yang timbul dalam keluarga sehingga seharusnya dimasukkan pula hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana ditegaskan Pasal 28B ayat (1), baru kemudian hak anak sebagaimana di ayat (2)-nya.
"Maka sangat penting memasukkan pasal 28B ayat satu itu ke dalam poin menimbang,” imbuhnya.
HNW juga menegaskan pentingnya hak cuti bagi suami yang istrinya melahirkan, apalagi telah terjadi kasus menghebohkan, yakni pilot yang tertidur karena kelelahan membantu istrinya yang melahirkan.
"AlhamduliLlah itu pun mendapatkan persetujuan," ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan banyak usulan Fraksi PKS yang telah diakomodir menjadi ketentuan dalam RUU yang secara khusus mengurusi ibu dan kesejahteraan anak pada seribu hari pertama kehidupan, masa-masa keemasan bagi tumbuhnya anak sejak di kandungan.
Mulai dari dikabulkannya hak bimbingan keagamaan bagi setiap ibu bukan hanya bimbingan kejiwaan, fisik maupun sosial.
Kemudian hak bagi ibu dan/atau anak penyandang disabilitas, kesempatan dan fasilitas menyusui yang layak bagi ibu yang bekerja, cuti hingga 6 bulan bagi ibu melahirkan, pencatatan donor ASI sehingga tidak mencegah perkawinan di antara saudara persusuan, dan kehadiran negara melalui lembaga asuhan anak bagi anak yang orang tua dan/atau keluarganya meninggal dunia.
“Dengan kondisi tersebut, Fraksi PKS menyatakan menyetujui untuk disahkan, dengan catatan," ujarnya.
HNW menegaskan pihaknya akan terus mengawal agar draf akhir RUU KIA yang dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat pertama pada Rapat Paripurna DPR nantinya sudah memasukkan catatan-catatan yang disampaikan Fraksi PKS demi kebaikan ibu dan anak.
"Agar undang-undang yang baik ini bisa dilaksanakan, karena tidak bertentangan dengan konstitusi,” pungkasnya. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi