Wakil Ketua MPR RI Suarakan Penolakan Keras Perpres Investasi Miras

Minggu, 28 Februari 2021 – 21:20 WIB
Hidayat Nur Wahid. Foto Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan bahwa Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 yang membuka investasi industri minuman keras (miras) mengandung alkohol tidak hanya berlaku untuk beberapa provinsi yang secara definitif disebutkan, yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua, tetapi juga terbuka peluang dan dapat dilakukan di semua daerah di Indonesia.

Menurut HNW, dengan terbukanya peluang itu, maka makin penting untuk ditolak.

BACA JUGA: Gus Jazil Kritisi Kebijakan Jokowi soal Investasi Miras

HNW menjelaskan, lampiran III Perpres No. 10/2021 seakan-akan hanya membatasi bahwa investasi terhadap industri miras hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu. Seperti Bali, NTT, Sulut dan Papua.

Hal itu disebutkan dalam Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf a. Namun, ternyata Perpres itu juga menyebutkan bahwa daerah-daerah lain juga dapat membuka investasi industri miras, bila syaratnya yang ringan itu terpenuhi. Hal itu jelas dinyatakan dalam Perpres tersebut pada Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf b.

BACA JUGA: Bang Saleh Sentil Pemerintah soal Perpres Investasi Miras, Mudaratnya Pasti Lebih Banyak

“Lampiran III Perpres angka 31 dan angka 32 huruf b jelas menyatakan bahwa: Penanaman modal di luar (provinsi-provinsi yang disebut dalam) huruf a (tersebut di atas), Dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur. Artinya, izin investasi untuk memproduksi minuman beralkohol, bisa berlaku di luar empat provinsi tersebut, dan karena itu juga bisa berlaku untuk semua daerah, bila dua syarat yang ringan itu terpenuhi; yaitu penetapan Kepala BKPM atas usulan dari gubernur," kata HNW dalam siaran pers, Minggu (28/2).

Dia menjelaskan, bahaya dan dampak negatif miras sudah terjadi dan meluas di luar empat provinsi yang diizinkan oleh perpres itu, dan di luar empat provinsi yang diizinkan adalah provinsi-provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam, agama yang tegas mengharamkan miras.

BACA JUGA: Industri Miras Dibuka, Syarief Hasan: Pemerintah Kehilangan Arah Mengelola Negara

Di Jakarta misalnya, baru terjadi tindakan kriminal terkait miras, seorang oknum polisi karena mabuk dan ditagih bayaran miras, malah mengamuk dan menembak empat orang, dua pekerja kafe tewas, dan satu oknum TNI juga tewas.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menuturkan bahwa Perpres No. 10/2021 soal investasi untuk produksi miras beralkohol itu bukan hanya mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi tokoh-tokoh masyarakat di daerah juga menolak perpres ini karena dampak negatif miras yang sangat banyak.

"Di Papua, Anggota DPD dari Papua dan Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) juga sudah menyampaikan penolakannya, karena miras dinilai membahayakan eksistensi masyarakat Papua. Kasatserse Polwiltabes Manado juga menyampaikan miras jadi pemicu meningkatnya kriminalitas di Manado, Sulawesi Utara. Sementara di NTT juga ada laporan kejahatan adik yang karena mabuk miras malah tega bunuh kakak kandungnya sendiri,” ujarnya.

HNW menambahkan bahwa suara-suara penolakan dari publik dan dari MUI serta MRP ini seharusnya menjadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk meninjau ulang keberadaan perpres itu.

Karena posisi MRP yang sangat penting di mata masyarakat Papua dan dalam ketentuan UU Otonomi Khusus Papua, provinsi yang justru mempunyai Perda Larangan Minuman Beralkohol.

"Berdasarkan UU Otsus Papua, MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan kepada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama," ujarnya.

Melihat penolakan yang makin meluas, dan korban yang makin banyak, dan terbongkarnya isi dari perpres yang hakekatnya tetap membuka peluang investasi miras di luar dari empat provinsi itu, HNW khawatir perpres ini apabila tidak segera ditarik oleh Presiden Jokowi maka akan menimbulkan keresahan dan kegaduhan di daerah-daerah lainnya, bukan hanya Papua.

Apalagi, di luar Provinsi Bali, NTT dan Sulut, ternyata perpres itu membuka kemungkinan investasi industri miras beralkohol tetap dapat dilakukan dengan mudah, sesuai perpres itu, hanya cukup berbekal ketetapan Kepala BKPM dan atas usulan dari gubernur, yang keduanya bisa bersifat subjektif, tanpa memerlukan keterlibatan pembahasan dan persetujuan dari DPRD.

Oleh karena itu, kata HNW, untuk menyelamatkan rakyat dari Covid-19 akibat imunitas yang menurun dan makin banyaknya korban-korban akibat dampak-dampak negatif miras, maka semestinya perpres atau aturan yang bisa hadirkan kegaduhan semacam itu seharusnya ditutup sama sekali oleh pemerintah pusat.

HNW mendorong agar segera kembali saja kepada aturan dalam perpres sebelumnya, yaitu menjadikan industri miras tertutup bagi investasi asing.

“Indonesia memang perlu investasi, tetapi investasi yang bisa membangkitkan ekonomi dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dan aman terhadap dampak sosial, keamanan dan moral. Bukan yang hanya lebih menguntungkan investor tetapi merugikan rakyat dan negara, karena investasi yang malah merusak keamanan, kesehatan, moral dan masa depan generasi muda,“ ujar HNW yang juga anggota Komisi VIII DPR RI itu.

“Jadi, demi melindungi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana perintah konstitusi, dan untuk kemaslahatan terbesar bagi rakyat dan NKRI, juga sesuai dengan prinsip memperhatikan budaya dan kearifan lokal, lebih afdal bagi Presiden Jokowi untuk lebih cepat mencabut atau menarik perpres bermasalah ini,” pungkas HNW. (*/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler