jpnn.com - jpnn.com - Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum menolak tegas rencana pemerintah pusat melalui Kementerian Agama (Kemenag) yang akan menyertifikasi khatib.
Karena menurut Uu, syarat dan rukun menjadi khatib itu sudah ada dalam ajaran agama Islam dan ulama sudah mengetahuinya.
BACA JUGA: MUI Tolak Sertifikasi Khatib
Kemudian, kata Uu, syarat sah berkhutbah itu diantaranya membaca shalawat, membaca satu sampai dua ayat suci Alquran dalam khutbah pertama dan kedua dan kemudian berdoa untuk umat Islam.
Jadi, terangnya, tidak ada di dalam aturan harus ada sertifikasi khatib. Oleh karena itu kepada pemerintah pusat, orang nomor satu di Pemkab Tasikmalaya ini meminta jangan terlalu mengintervensi masalah keagamaan.
BACA JUGA: Mayoritas Menolak Wacana Sertifikasi Khatib
“Karena ini harusnya bukan Kemenag tetapi oleh ulama,” kritiknya saat menghubungi Radar, Jumat (3/2).
Uu pun mempertanyakan keputusan pemerintah pusat yang akan menyertifikasi khatib, sedangkan para pendeta atau para penyampai agama lainnya tidak disertifikasi.
BACA JUGA: Program Studi Agama Semakin Sepi Peminat
“Ini harus ada keseimbangan,” kritiknya lagi.
Penyampaian isi ceramah Islam, kata Uu, sudah diatur di dalam ilmu fiqih dan tidak ada yang mengarah ke provokasi atau adu domba.
”Jadi jangan dintervensi. Sudah ada aturannya dalam Islam. Hukum fiqihnya sudah ada yang mengaturnya,” bebernya.
“Saya tidak sepakat. Saya berbicara seperti ini, karena saya sudah berkomunikasi dengan beberapa ulama,” tegasnya.
Awalnya, kata Uu, dia tidak ada niatan menyampaikan penolakan penyertifikasian khatib, tetapi setelah dimohon oleh beberapa ulama, sekalipun ulama tersebut tidak mewakili mayoritas, Uu menyampaikan penolakan terhadap rencana Kemenag itu.
”Ulama yang menurut hemat kami adalah ulama syaikhul masyaikh, maka saya menyampaikan (penolakan sertifikasi khatib ini, Red) hari ini,” bebernya.
Alasan kuat penolakannya, kata Uu, pertama khatib itu sudah jelas harus orang yang fokus dan benar-benar orang terhormat dan mengetahui rukunnya antara lain pertama harus baca shalawat, harus taqwa, harus membaca ayat suci Alquran minimal satu ayat.
“Kemudian harus mendoakan muslimin dan muslimat,” ujarnya.
Artinya, kata Uu, fiqih sudah mengatur syarat untuk menjadi khatib dan khutbah, apa definsi syarat adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu dikerjakan. Kalau rukun adalah segala sesuatu yang harus ada disaat itu dikerjakan.
”Oleh karena itu di Islam sudah ada syarat dan rukunnya kenapa harus ada sertifikasi lagi?” herannya.
Dalam kesempatan berbeda, Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda KH Abdul Aziz Affandy pun tidak sepakat penyertifikasian khatib.
KH Aziz memandang rencana pemerintah pusat menyertifikasi khatib dikhawatirkannya memiliki muatan-muatan yang tentunya akan sangat tidak sesuai dengan masalah-masalah yang ada di daerah.
Jadi, kata KH Aziz, sertifikasi khatib ini menunjukkan arogansi pemerintah pusat untuk menguatkan kekuasaannya. Karena pelaksanaan Jumat itu bukan hanya sekedar khutbah dan salat.
Tetapi di dalamnya adalah keabsahan, sesuai dengan petunjuk Allah SWT yang dikelola oleh para ulama, itu hanya akan bisa dimengerti oleh orang-orang yang cukup lama berpendidikan di pesantren.
Sertifikasi khatib ini, jelas KH Aziz, akan membuat permasalahan besar. Terlebih, sebelumnya, di dalam pendidikan guru agama di madrasah diniah, guru-gurunya disertifikasi hanya dengan alasan untuk mendapatkan insentif.
Itu, menurut ulama kharismatik ini ”pembunuhan” orang-orang di daerah yang lebih berpotensi, profesional dan tanggung jawab menjadi pendidik agama Islam.
”Intinya tidak sepakat dan tidak akan sepakat (sertifikasi khatib, Red),” tegas KH Aziz.
Sebelumnya, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Tasikmalaya Drs H Agus Abdul Kholik MM menjelaskan rencana penyertifikasian khatib atau dai oleh pemerintah pusat supaya penyampaian materi ceramah jelas, bisa dipertanggung jawabkan dan tidak mengandung unsur provokasi.
Agus mencontohkan, seorang khatib yang berceramah tidak memakai teks bisa saja terpancing oleh keadaan audiens di masjid bermayoritas garis keras.
Maka, sertifikasi khatib diperlukan agar memiliki batasan-batasan menyangkut isi ceramah yang patut disampaikan dan yang tidak boleh disampaikan.
“Saya anggap perlu disertifikasi para khatib itu,” ujar Agus.
Jangan sampai, kata Agus, khatib berceramah tentang wilayah-wilayah sensitif terkait khilafiah, garis Islam radikal, provokatif dan lainnya.
Kalau mengomentari kondisi negara saat ini, terangnya, bisa. Apalagi kaitannya warga negara Indonesia agar tetap memiliki kecintaan terhadap negaranya.
“Itu merupakan hal yang harus diperkuat dan ditanamkan tetapi dengan bahasa yang bilhikmah waljamaah,” jelasnya.
Artinya nanti, terang dia, proses sertifikasi khatib melalui tahapan pembinaan dan uji coba hasil diklat.
“Katakanlah nanti khatib ini kira-kira sudah diberikan rambu-rambunya, materinya dan hal-hal yang tidak boleh disentuh karena kurang baik atau mendiskreditkan satu golongan nanti, bisa mendapat sertifikasi,” ujarnya.
Jadi pemerintah nantinya memberikan rambu-rambu untuk khatib menyampaikan khutbah, karena khatib merupakan ulama dan tokoh agama.
Jadi nanti isi ceramahnya tidak hanya tentang surga neraka saja. Khatib bisa menjelaskan tentang kondisi negara hari ini dan umat Islam di seluruh dunia seperti apa.
“Minimal mendorong dan mendoakan agar kedamaian dan keamanan itu terbangun,” bebernya.
Jadi, kata Agus, tidak ada istilah pemerintah membatasi materi ceramah khatib, hanya mempertegas materi dan rambu-rambu materi ceramah tentang pembangunan, kerukunan, toleransi, memperjuangkan iman, ukuwah islamiyah, ketauhidan dan yang sensitif ini tidak disampaikan.
Tentu, kata Agus, tidak semua khatib saat penyampaian ceramahnya provokatif.
“Umpanya di daerah ada program sertifkasi khatib, tentu tidak semua khatib yang disertifikasi,” jelasnya.(dik)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenag Banyak Masalah kok Mau Sertifikasi Khatib
Redaktur & Reporter : Adil