"Karena (ini) pertemuan reguler, ketika Indonesia membawa isu penting yang memperjuangkan kepentingan domestik atau nasional, kalau (misalnya) tidak selesai pada pertemuan ini, kan bisa dibawa kembali pada pertemuan selanjutnya," jelas M Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Walhi.
Kendati demikian, ungkap Teguh lagi, dalam event GCSS XI/GMEF yang akan berlangsung di Nusa Dua sepanjang 21-26 Februari ini, Walhi malah perlu mempertanyakan kepada Menteri Lingkungan Hidup (LH) khususnya maupun Presiden RI, kepentingan strategis nasional apa yang diperjuangkan di sana? "Gak ada sampai hari ini
BACA JUGA: Dibentuk, Badan Registrasi Wilayah Adat
Saya sebagai orang awam, maupun sebagai aktivis Walhi yang dianugerahi kemewahan informasi pun, gak dapat informasi sama sekaliSeharusnya kata Teguh, terhadap poin-poin dalam event penting semacam ini, masyarakat Indonesia perlu tahu lewat informasi (pemberitaan) secara maraton, agar mereka mengerti
BACA JUGA: Golkar Sadar Ada Resiko Politik
"Jangan nantinya masyarakat hanya melihat laporan berita sekadar kegiatan biasaBACA JUGA: Golkar Tak Risau PD Dekati PDIP
Itulah kesalahan besar delegasi dan negosiator yang ikut dalam pertemuan internasional seperti ini," sebutnya.Menurut Teguh, terkait isu perubahan iklim sendiri, pihaknya sebelumnya bahkan pernah melaporkan kepada DPR RI, serta berniat untuk memanggil Presiden dan delegasi RIHal itu karena katanya, kejadian sama senantiasa terulang lagi, serta tidak ada proses pembelajaran oleh pemerintah Indonesia"Lumrahnya, dalam setiap pertemuan pasti ada kesepakatanYang menjadi pertanyaan lagi, bagaimana kesepakatan itu bisa menguntungkan bagi kita," tambahnya.
Teguh mencontohkan, sembilan tahun yang lalu misalnya, Indonesia pernah mengikuti pertemuan ASEAN terkait perdagangan bebas, serta menandatangani kesepakatan"Tapi, apakah itu menguntungkan? TidakHari ini, bukan hanya rakyat miskin yang menjerit, pengusaha pun ikut menjerit akibat kesepakatan ituNah, apa kita mau ini terulang lagi?" kritiknya, sambil menambahkan bahwa kalau kesepakatan itu hanya akan membuat rugi, lebih baik Indonesia tak menandatanganinya.
"Kita (harus) belajar sekarangYang paling penting (adalah) meminta negara impor mengurangi demand dan melakukan restorasi ekologi, karena hari ini Indonesia terus diminta menebang hutan, diminta tanam sawit oleh negara maju, kemudian diekspor ke negara mereka(Sementara) di satu sisi Indonesia dituduh sama negara yang lain sebagai negara pengemis terbesarIni tidak fair," kata Teguh lagi.
"Indonesia (di satu sisi) dituduh sebagai negara pengrusak lingkungan nomor satuTapi kita harus melihat, yang merusak bukan kitaMisalnya Freeport, itu AmerikaBukan kita yang merusak hutan, tapi San DarbiItu dari MalaysiaSeharusnya, Indonesia kalau ada kesepakatan, mengarahkannya kepada minta pertanggungjawaban pemulihan LHKarena hari ini, LH lebih penting dari segalanyaKarena kalau lingkungan rusak, ekonomi kita akan kolaps," ujarnya menambahkan(fm/ito/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Tetap Buru Pejabat Penerima Fee
Redaktur : Tim Redaksi