jpnn.com, BANDA ACEH - Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al Haytar menyinggung soal keadilan bagi para korban konflik Aceh di masa lalu.
Dia menilai penyelesaian terhadap para korban konflik harus diutamakan, dalam merawat perdamaian Aceh yang kini berusia 16 tahun.
BACA JUGA: Sssttt.., Bakal Ada Lobi-lobi Tingkat Tinggi, Mungkin Akan Sampai ke Presiden
"Menyelesaikan permasalahan masa lalu terutama keadilan bagi korban konflik, mengoptimalkan implementasi UU Pemerintah Aceh, menyahuti kebutuhan masyarakat, serta memperkuat kohesi sosial merupakan agenda strategis kita," ujar Malik Mahmud Al Haytar di Banda Aceh, Minggu (15/8).
Pernyataan itu disampaikan Wali Nanggroe Aceh dalam sambutannya pada acara peringatan 'Hari Damai Aceh' atau MoU Helsinki ke-16 antara Pemerintah RI dan GAM yang terjadi 15 Agustus 2005 lalu di Finlandia.
BACA JUGA: Perlu Ada Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi Independen
Malik Mahmud mengatakan perdamaian terlaksana karena dukungan penuh masyarakat Aceh, Indonesia hingga internasional yang menginginkan suasana damai tercipta di Aceh.
"16 tahun telah berlalu, kita menghadapi tantangan yang sangat berat, baik tantangan internal maupun dinamika dan kelanjutan diplomasi dengan pemerintah pusat," ucapnya.
BACA JUGA: Mentan Sebut Merdeka Ekspor Jadi Optimisme Baru Bagi Para Petani
Malik Mahmud juga menyebut persatuan komponen masyarakat Aceh merupakan faktor utama yang dapat menjamin keberlanjutan perdamaian dan mencegahnya tidak berulang konflik baru di masa depan.
Dalam hal ini, juga dibutuhkan partisipasi semua pihak mulai dari birokrat, ulama, cendekiawan, pengusaha, pemuda, kaum perempuan dan kaum tani.
Kemudian, kaum nelayan serta komponen masyarakat lain dalam mempercepat pembangunan kesejahteraan rakyat.
Malik menuturkan, pergerakan ekonomi Aceh masih bergantung pada sumber Anggaran pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) semata.
Semestinya, Aceh harus mengelola potensi pertanian, perikanan, peternakan dengan membangun infrastruktur yang mendukung peningkatan kualitas produksi, guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh.
"Sumber-sumber mata pencaharian masyarakat harus dilindungi dan buka secara luas, agar perekonomian masyarakat Aceh dapat terjaga dan terlindungi," kata mantan Perdana Menteri GAM itu.
Malik lebih lanjut menyatakan bahwa tantangan damai Aceh selama 16 tahun ini juga terlihat dari praktik perilaku politik yang korup, menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang akhirnya sangat merugikan masyarakat.
Selain itu, kata Malik Mahmud, tantangan damai Aceh lainnya adalah pandemi COVID-19.
Masyarakat harus berperang dengan musuh ganas dan tidak terlihat.
COVID-19 ini telah membunuh, menghancurkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia hingga dunia.
Selain dari mengikuti protokol kesehatan yang telah diatur oleh pemerintah, usaha vaksinasi adalah upaya memperkuat imunitas tubuh menjadi satu-satunya cara agar terhindar dari virus ini.
Malik juga menyampaikan, problematika ekonomi menjadi komponen utama yang harus segera dicari jalan keluar oleh setiap pemangku kepentingan di Aceh.
Jika tidak, ini dapat meruntuhkan kepercayaan diri dan membuat masyarakat terpecah belah, sehingga berpotensi mengganggu perdamaian Aceh.
"Maka pada momentum damai yang ke 16 tahun ini, kita belajar kembali, kita kuatkan kembali dalam kehidupan kita sehari-hari."
"Sehingga budaya Aceh yang suka saling menolong, menghormati perbedaan, dan menjadikan mufakat untuk memperoleh solusi dapat kita kuatkan kembali," pungkas Malik Mahmud.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang