jpnn.com - Setiap hari ratusan dump truck hilir mudik mengangkut bahan tambang di lereng Gunung Lawu dan Wilis. Bahaya mulai datang. Warga kesulitan air bersih hingga longsor dan banjir bandang mengancam.
---
BACA JUGA: Kesempatan Berbagi Pengalaman Gunakan Software MICROMINE
TUJUH tahun lalu Cobor, kolam seukuran 70 meter persegi di Dusun Manden, Desa Sidorejo, Kecamatan Kendal, Ngawi, Jatim, adalah denyut kehidupan warga setempat. Mengambil air untuk memasak, mandi, hingga berenang, semuanya bisa dilakukan di sana. Airnya begitu jernih.
Maklum, tak jauh dari situ, sumber air mengucur deras dari dalam tanah. Kemudian mengalir melintasi celah-celah bebatuan dan akar-akar pohon besar sampai akhirnya berkumpul di kolam itu.
BACA JUGA: Pertambangan Nonmigas Membaik, Perekonomian Kaltim Tancap Gas
Warga setempat juga mengalirkan air tanah tersebut ke rumah-rumah dengan jaringan pipa yang dibangun swadaya.
Tapi, sejak tujuh tahun lalu kondisinya berubah. Semua orang enggan pergi ke sana. Suplai air dari sumbernya juga tak lagi melimpah. ”Sekarang sudah jarang yang mandi di Cobor,” kata salah seorang warga Manden saat ditemui Jawa Pos Selasa (12/3) lalu.
BACA JUGA: Caleg PAN Dianiaya Preman, Nyaris tak Ditusuk Pisau
BACA JUGA: Banjir Bandang Menerjang, Rumah Hancur, Ternak Warga Hanyut
Kini Cobor memang tak lagi asyik untuk berendam. Pengamatan Jawa Pos di sana menunjukkan, dasar kolam terlihat penuh lumpur. Air pun cepat butek (keruh) ketika ada orang nyemplung ke kolam yang tak jauh dari pematang sawah itu.
Sidorejo memang berubah. Sebagian wilayah desa yang berjarak 27 kilometer dari Kota Ngawi tersebut telah menjadi area penambangan batu andesit. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur 2017–2018 menyebutkan, ada 17,92 hektare lahan yang mendapat rekomendasi teknis (rekomtek) izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi batu andesit.
Dari penelusuran Jawa Pos, produksi batu di Sidorejo terpencar di sejumlah dusun. Selain Manden, ada pula produksi di Dusun Wonorejo, Basri, Wijil, dan Tanon. Mayoritas merupakan tanah milik warga yang dieksplorasi orang luar desa. Konon, kualitas andesit asal Sidorejo di atas rata-rata. Satu dump truck kapasitas full 7 meter kubik (satu rit) dihargai Rp 650 ribu sampai Rp 700 ribu.
Laju bisnis batu di Kendal menggeliat sejak 2016 hingga sekarang. Saat ini jalanan desa di sana tak pernah sepi. Lalu-lalang truk keluar masuk desa. Warga setempat membuka sejumlah posko di ”pintu masuk” lokasi tambang untuk mendata jumlah truk dan kuli angkut.
”Sekarang jadi mata pencarian utama kami,” ujar warga yang tidak ingin disebutkan namanya itu.
Tidak sedikit warga yang menggantungkan hidup dari tambang yang berdekatan dengan rumah tinggal mereka. Mereka menjadi tukang pemecah batu tradisional, kuli angkut, atau sopir ataupun membuka warung makan.
Kuli angkut, misalnya, mendapat upah Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per rit. Sedangkan pemecah batu umumnya mendapat bayaran ketika produksinya laku.
Pada 2016 lokasi tambang di seluruh Ngawi sempat dihentikan beroperasi karena peralihan perizinan dari kabupaten ke Pemprov Jatim. Warga yang merasa kehilangan mata pencarian mengamuk.
Mereka berdemo besar-besaran. Menuntut pemerintah setempat membuka kembali keran bisnis mereka. ”Masyarakat jadi sensitif kalau tambang itu ditutup,” ujar pria 29 tahun itu.
Mayoritas warga Sidorejo tidak menyoal bukit-bukit di desa tersebut dikeruk dengan alat-alat berat sekalipun. Mereka bahkan dengan senang hati menjual tanah untuk dieksplorasi.
Namun, tidak demikian warga yang tinggal di bawah. Misalnya di Dusun Pucanganom, Desa Kendal, yang berada beberapa kilometer di bawah lokasi tambang.
”Warga di atas memang tidak masalah, tapi kami yang di bawah khawatir tak keruan. Setidaknya tanah longsor dan banjir bandang bisa mengancam,” ungkap seorang warga Dusun Pucanganom, Kendal, yang tidak mau namanya dimasukkan koran kepada Jawa Pos. ”Dulu pernah ada banjir bandang sekitar 2015, tapi tidak besar,” imbuh pria yang bekerja di perusahaan daerah tersebut.
Selain terusik dengan pemandangan lahan hijau yang perlahan terus menyusut, persoalan warga di bawah lokasi tambang adalah kualitas air bersih yang menurun. Termasuk sumber air Cekok Mondol yang tidak jauh dari situ.
Air bersih yang mengalir ke rumah warga di Kendal tak lagi sejernih dulu. Terlebih saat hujan deras. Air yang keluar dari pipa berwarna cokelat. Terkadang juga berwarna putih. ”Sekarang Cekok Mondol dikelilingi tambang. Wajar kalau keruh,” ungkapnya. Perubahan kualitas air itu yang membuat warga waswas. ”Tolong kembalikan alam kami,” ujarnya.
Madiun Alami Nasib Serupa
Madiun, tetangga Ngawi, rupanya mengalami problem serupa. Namun, sikap warga di sana berbeda. Persoalan tambang disikapi lebih keras oleh warga setempat. Misalnya yang terjadi baru-baru ini di Dusun Krajan, Desa Banjarsari Wetan, Kecamatan Dagangan.
Warga setempat melancarkan protes dan memblokade jalan untuk menutup hilir mudik dump truck yang mengangkut tanah uruk dari sebuah lokasi galian.
Protes tersebut dilakukan lantaran warga mengetahui bahwa aktivitas penggalian itu ternyata berkedok pembangunan kolam pemancingan. Padahal, sebenarnya tanahnya dikeduk untuk dijual.
Tidak tanggung-tanggung, kegiatan penambangan tersebut baru diketahui setelah dua tahun berlangsung. Lahan di sana dikeruk hingga kedalaman 15 meter dan lebar 50 meter.
Di Madiun aktivitas tambang menggeliat sejak lama. Menurut data Dinas ESDM Jatim 2017–2018, ada 27,75 hektare lahan tambang pasir batu (sirtu); 15,96 hektare tambang tanah uruk; dan 43,7 hektare tambang batu andesit yang mendapat rekomtek IUP operasi produksi.
Lokasinya tersebar di Kecamatan Gemarang, Dolopo, Saradan, Kare, dan Mejayan. Gemarang dan Kare merupakan wilayah yang berada di lereng Gunung Wilis. Tanah uruk di sana umumnya dijual Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu per rit (dump truck standar). Bergantung jarak lokasi tambang dengan tujuan.
BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Masih Mahal, Sampai Kapan?
Ponorogo mengalami problem yang sama. Bumi Reog itu dikenal sebagai penghasil pasir, batu tras, dan gamping. Mayoritas berada di lereng-lereng gunung. Misalnya tambang batu tras di Desa Ngrogung, Kecamatan Ngebel, yang hanya berjarak beberapa kilometer di bawah Telaga Ngebel. Ada pula tambang tras di Kesugihan, Pulung, yang merupakan wilayah kaki Gunung Wilis.
Berdasar data Dinas ESDM Jatim, ada 27,92 hektare tambang sirtu di seluruh Ponorogo. Kemudian 39,09 hektare tambang batu tras dan 27,28 hektare batu gamping yang mendapat rekomtek IUP operasi produksi. Satu rit pasir biasanya dijual Rp 1,2 juta hingga Rp 1,3 juta.
Daru Setyo Rini, manajer riset dan program Ecoton, mengatakan bahwa kegiatan eksplorasi lereng Wilis dan Lawu sama saja dengan mengubah lahan alami bervegetasi atau lahan hutan menjadi lahan terbuka atau kedap air.
Kondisi itu dapat meningkatkan air larian permukaan yang bisa saja mengakibatkan banjir di dataran lebih rendah atau hilir sungai.
”Alih fungsi lahan hutan dan resapan air akan mempercepat air meluncur ke bawah. Air yang ada di atas juga tidak bisa meresap dengan optimal ke dalam tanah,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos.
Curah hujan yang tinggi karena anomali cuaca memang bisa saja diklaim sebagai penyebab utama banjir. ”Tapi, kita tetap harus menyiapkan langkah antisipasi,” tutur dia.
Salah satu langkah antisipasi itu ialah mengembalikan fungsi lereng gunung sebagai wilayah tangkapan air. Dan yang tidak kalah penting: menaturalisasi kolam air Cobor agar anak-anak dan remaja di Manden bisa kembali bersorak kegirangan mandi di sana setiap sore datang. (tyo/c9/git)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ya Ampun, PAD dari 71 Toko Modern Hanya Rp 38 Juta
Redaktur & Reporter : Soetomo