jpnn.com, JAKARTA - Rasa frustrasi dan tidak berdaya sedang dihadapi masyarakat adat Manggarai Barat, Flores, NTT, karena tanah ulayat mereka dirampas mafia tanah, yang diduga berkolaborasi dengan oknum Kantor Pertanahan Labuan Bajo.
Keprihatinan itu disampaikan Rikard Bagun, salah satu tokoh pemangku adat Manggarai Barat, dalam diskusi yang digelar oleh Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) bertajuk "Konfilik Tanah Ulayat: Reforma Agraria dan Quo Vadis Hukum Adat" di Jakarta, Sabtu (30/1/2021).
BACA JUGA: MAKI Dorong Penegak Hukum Sikat Habis Mafia Tanah
RKN merupakan sebuah lembaga di Jakarta yang fokus pada advokasi hak-hak masyarakat kecil dan mendorong pendekatan nilai kebudayaan atau adat dalam penyelesaian berbagai persoalan seperti sengketa tanah ulayat.
Rikard mengatakan, sebelum menikmati manfaat atas program pengembangan wisata Labuan Bajo, masyarakat adat Manggarai Barat sudah mengalami kegetiran dan kecemasan mendalam.
BACA JUGA: Polisi Harus Serius Kejar Buronan Kasus Mafia Tanah
Baru-baru ini misalnya ramai diberitakan di media massa tentang jeritan masyarakat Sepang-Nggieng di Manggarai Barat, yang tidak berdaya menghadapi jaringan mafia tanah.
Sejauh diberitakan media, tidak tanggung-tanggung 563 sertifikat diterbitkan untuk ratusan hektare lahan ulayat Sepang-Nggieng. Sindikat yang diduga bekerja sama dengan oknum Kantor Pertanahan Labuan Bajo memanipulasi data fisik dan data yuridis.
BACA JUGA: Siap-siap, Panglima Kerahkan 91.817 Personel dan Alutsista TNI
Objek tanah ulayat Sepang-Nggieng yang disertifikatkan terletak di desa pada daratan Pulau Flores, tetapi data yuridisnya diterbitkan oleh otoritas Desa Batu Tiga di Pulau Boleng, yang terletak di luar daratan Pulau Flores dan terpisah oleh laut.
Tidak hanya merampas tanah, jaringan mafia juga telah merusak budaya dengan mengangkat begitu saja orang sembarangan sebagai Tu’a Golo sebagai rekayasa untuk mendapatkan surat keterangan alas hak atas tanah.
Masyarakat adat Sepang-Nggieng sejauh ini sudah meminta bantuan dan dukungan Kongres Rakyat Flores (KRF) dan Institut Setara untuk memperjuangkan nasib mereka.
Mereka mendesak 563 sertifikat disita dan dimusnahkan, serta membongkar jaringan mafia yang merampas hak rakyat atas tanah leluhurnya, dan telah merusak budaya masyarakat.
Pakar hukum agraria dari Universiatas Kristen Indonesia (UKI), Aartje Tehupeiory mengatakan masyarakat adat selalu menjadi korban dalam persoalan tanah ulayat.
Padahal, Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
"Sekarang pertanyaannya, kalau undang-undang sudah mengatur sedemikian jelas tapi masih terjadi konflik," kata Aartje.
Menurut dia, akar konflik pertanahan secara umum adalah tumpang tindih peraturan, regulasi kurang memadai, tumpang tindih peradilan, penyelesaian dan birokrasi yang berbelit-belit, nilai ekonomis tinggi, kesadaran masyarakat meningkat, tanah tetap sedangkan penduduk bertambah, dan kemiskinan, dan lain-lain.
"Eksistensi penggunaan hukum adat dan kearifan lokal mengalami tekanan di tengah intervensi hukum nasional, terutama perubahan peruntukkan untuk kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan label penguasaan negara berhadapan dengan penguasan adat," jelas Aartje.
Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores (KRF), Petrus Selestinus mengatakan konflik tanah ulayat masih sering terjadi di NTT dan Sumatera.
Di Flores, kasus misalnya terkait lahan suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende yang diklaim milik institusi TNI; kasus penguasaan lahan Sepang-Nggieng di Labuan Bajo; dan konflik lahan Desa Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Menurut Petrus, konfik lahan terjadi karena masuknya pemilik modal dan mafia besar untuk kepentingan bisnis dan lain sebagainnya.
"Kehadiran mereka memunculkan persoalan. Dengan kekuatan modal, pengusaha dan mafia besar bisa beli semua, mereka acak-acak semua," kata dalam diskusi RKN.
Petrus yang juga advokat Peradi ini mengatakan, dari segi regulasi yang diatur dalam UUD 1945, UU Agraria, peraturan pemerintah dan lain sebagainya, ditekankan perlindungan negara atas tanah ulayat dan masyarakat adat.
"Tetapi dalam praktiknya banyak penggusuran atas nama kepentingan nama lapangan kerja dan pembangunan. Masyarakat yang jadi korban. Tidak ada perlindungan negara," jelas Petrus.
Anggota Komisi IV dari Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pengganti UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan harusnya menjadi langkah baru bagi negara untuk memperhatikan masyarakat adat.
Namun faktannya, kata pria yang akrab disapa Ansy Lema ini, kerap kali hak masyarakat adat dicaplok atas nama pembangunan.
"Ini membuat masyarakat adat dengan hak-haknya mengalami proses marjinalisasi," ujar Ansy.
Menurut Ansy, Komisi IV DPR dalam rapat bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 2020 lalu, sudah meminta untuk mengakomodir hak masyarakat adat dalam aturan turunan seperti peraturan daerah dan peraturan menteri.
"Nah, ini yang kita lihat belum terjadi. Karena konflik horizontal yang kerap melibatkan masyarakat adat dengan koorporasi, masyarakat adat berhadapan dengan negara terjadi karena memang kelihatannya dari sisi regulasi pada tingkat daerah maupun penegakan hukum pada tingkat lokal itu masih jalan setengah hati," jelasnya.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich