Mereka yang berstatus warga negara dan penduduk tetap Australia, termasuk asal Indoensia, sudah diperbolehkan ke luar Australia. Tapi masih banyak yang ragu untuk melakukannya, terutama untuk mengunjungi tanah airnya.

Erna Sukardi, warga Melbourne asal Indonesia mengaku sudah rindu untuk bisa bertemu dengan keluarga besarnya di Tanah Air.

BACA JUGA: Setelah Lebih dari Dua Minggu Hilang di Australia Barat, Balita Perempuan Ditemukan Selamat

Tiket yang pernah dibelinya akan hangus di bulan Desember nanti, tapi ia merasa tidak akan menggunakannya.

Erna mengatakan tidak yakin dengan angka kasus resmi yang diumumkan Pemerintah Indonesia.

BACA JUGA: Indonesia Bisa Terbebas dari Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Tahun 2040, Utang Luar Negeri Kuncinya

Ia juga khawatir situasi COVID-19 di Indonesia sebenarnya lebih buruk dari yang dilaporkan.

"Kami memang memiliki keluarga yang ingin kami kunjungi, tapi kami juga tidak ingin terkena virus," katanya.

BACA JUGA: Kemnaker Upayakan Pemulangan Pekerja Migran Maulana yang Ditangkap Imigrasi Kamboja

Selasa kemarin Satuan Tugas COVID-19 mengumumkan waktu karantina bagi pelaku perjalanan internasional yang sudah divaksinasi dua dosis telah dipangkas menjadi tiga hari.

Sementara mereka yang baru menerima satu dosis vaksin tetap harus menjalani karantina selama lima hari setibanya di Indonesia.

Meski masa karantina sudah dipangkas, Erna mengatakan tetap saja akan waktu yang dihabiskan untuk melakukan karantina di hotel, sementara ia hanya mendapat cuti akhir tahun selama dua minggu.

Erna mengatakan karena sebagian anggota keluarga besarnya sudah berusia lanjut, ia terpaksa memikirkan ulang rencananya untuk berkunjung ke Indonesia.

Belum lagi ia mengatakan sudah mendengar banyak cerita dari anggota keluarga yang tiba-tiba sakit dan kemudian meninggal.

"Saya betul-betul ingin pulang, bisa bicara lagi dengan mereka, memeluk mereka. Kalau itu bukan pertemuan yang terakhir, ya itu bagus. Tapi bisa saja itu menjadi pertemuan kami yang terakhir."

"Tapi di saat yang sama, banyak hal yang tidak pasti saat ini."

Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) minggu lalu sudah menurunkan peringatan 'jangan bepergian' ke Indonesia.

Seperti yang diumumkan situs Smartraveller, Indonesia sekarang masuk dalam kategori 2 yang berarti "perlunya kewaspadaan tinggi terkait COVID-19 dan situasi perjalanan internasional yang masih kompleks".

"Warga Australia harus mempertimbangkan persyaratan dari maskapai, transit dan negara tujuan, juga pengaturan kembali ke Australia sebelum membuat keputusan ke mana mereka akan pergi," kata DFAT dalam pernyataannya.

"Banyak dari persyaratan ini bisa berubah dengan cepat karena situasi COVID-19. Banyak yang perlu dipertimbangkan

Angie Roberts, juga asal Indonesia mengatakan dia masih ragu-ragu untuk membeli tiket pesawat ke Makassar, Sulawesi Selatan untuk mengunjungi keluarganya.

"Bila kembali ke Indonesia, sebenernya saya tidak terlalu khawatir. Kakak perempuan saya dokter sehingga layanan kesehatan lebih mudah saya dapatkan bila diperlukan, dan sekarang kasus di Sulawesi Selatan [yang tercatat] lebih rendah dibandingkan di negara bagian Victoria," katanya.

"Saya sebenarnya lebih khawatir karena keadaan di Australia dibandingkan di Indonesia."

Menurut Angie kekhawatiran utamanya berkaitan dengan biaya yang harus ia keluarkan, termasuk untuk biaya tes antigen atau PCR di Australia dan Indonesia, serta keharusan menjalani karantina di Indonesia.

Masalah lain yang juga jadi perhatiannya adalah aktivitas Gunung Agung di Bali, yang jika meletus bisa menunda penerbangan.

Ia mengatakan jika itu terjadi maka dirinya bisa semakin lama berada di Indonesia dan harus lebih banyak melakukan tes COVID-19.

"Kami memiliki asuransi perjalanan, tapi saya tidak tahu selama pandemi ini bagaimana peraturan mengenai asuransi," kata Angie lagi.

Angie terakhir kali pulang ke Indonesia pada bulan Januari 2020 dan kemungkinan besar dia akan kembali ke Indonesia lagi dalam waktu dekat ini.

"Sudah cukup lama, hampir dua tahun [terakhir ke Indonesia]. Biasanya tidak pernah lebih dari setahun," katanya.

"Ibu saya umurnya hampir 80 tahun dan saya punya saudara laki-laki dan perempuan, semua di sana.

"Jadi penting sekali saya pulang untuk bertemu dengan mereka." Perlunya mencari informasi sebanyak-banyaknya

Epidemiolog Mike Toole dari Burnet Institute mengatakan penting sekali bagi mereka yang hendak melakukan perjalanan untuk mencari berbagai informasi sebelum memutuskan untuk pergi ke luar negeri atau tidak.

Professor Toole mengatakan jumlah kasus aktif COVID-19 bervariasi dari satu negara ke negara lain, sehingga syarat masuk ke tiap negara-negara pun berbeda-beda.

"Jadi mereka perlu mengecek dengan teliti apa persyaratan untuk masuk ke sebuah negara," ujar Profesor Toole.

"Menurut saya ketika mereka berada di negara itu, mereka harus melakukan langkah pencegahan penularan yang biasanya mereka lakukan di Australia," katanya.

Professor Toole mengatakan dia sudah membeli tiket pesawat ke Mesir yang akan terbang tanggal 31 Desember malam.

"Saya akan mengenakan masker di dalam ruangan, tidak peduli apakah diharuskan atau tidak," katanya.

"Selain itu, menjalankan protokol kesehatan dan jaga jarak dan hindari kerumunan terutama di dalam ruangan."

Marylouise McLaws epidemiolog dari University of New South Wales mengatakan bepergian ke negara mana pun saat ini berisiko. 

Menurutnya siapa pun yang ingin bepergian harus mempertimbangkan apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.

Menurut Professor McLaws, yang harus diperhatikan sebelum mengambil keputusan adalah melihat jumlah kasus harian dan tingkat vaksinasi di satu negara.

"Jadi kedua hal tersebut harus menjadi pertimbangan utamanya," tuturnya.

Dia menambahkan, melakukan tes antigen berulang kali mungkin juga akan bermanfaat untuk memastikan tidak akan ada apa-apa sebelum pulang ke Australia.

Professor McLaws mengatakan satu hal yang kadang tidak menjadi pertimbangan adalah apakah orang lain yang tinggal bersama pelaku perjalanan akan nyaman ketika mereka menjalani karantina di rumah setibanya di Australia.

"Tidak semua orang hidup sendiri, dan saya tidak tahu apakah pemerintah telah benar-benar mengidentifikasi ini sebagai masalah, bahwa ada semacam keharusan para penghuni rumah untuk menerima situasi ini," kata Professor McLaws yang juga adalah anggota komite penasehat di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kematian karena COVID-19 Tembus 5 Juta Jiwa, Rasa Kehilangan Dirasakan di Seluruh Penjuru DUnia

Berita Terkait