Pertanyaan kapan perbatasan Australia dibuka, terjawab sudah hari ini.
Setelah menunda pembukaan perbatasan, yang awalnya ditetapkan pada 1 Desember karena kekhawatiran virus corona varian Omicron, Australia akhirnya memperbolehkan warga asing yang memenuhi syarat masuk ke negaranya mulai hari Rabu, 15 Desember.
BACA JUGA: Rekor Baru, Harga Hewan Ternak di Australia Mendekati Rp 50 Ribu per Kilo
Mereka masih harus melakukan karantina mandiri selama 72 jam sejak kedatangan ke Australia, seperti halnya mereka yang berstatus warga negara dan penduduk tetap. Mereka juga hanya boleh datang ke negara bagian yang sudah menerima warga asing.
Febri Nurrahmi asal Aceh sudah memegang tiket penerbangan ke Australia untuk Kamis besok (16/12), meski mengaku masih takut.
BACA JUGA: Sejumlah Negara Bagian di Australia Melonggarkan Aturan Perjalanan dan Perbatasan
"Walau sudah packing, karena sudah berapa kali kecewa, tetap saja masih antara 'ini betul pergi apa enggak' dalam hati," ujar mahasiswi S3 La Trobe University tersebut.
Kekhawatirannya beralasan, karena Febri pernah membeli tiket untuk tanggal 11 Desember, tapi kemudian ia batalkan setelah menerima kabar pembukaan perbatasan ditunda.
BACA JUGA: Di Balik Industri Perkebunan Australia: Nasib Pekerja yang Menopang Sumber Pangan
Untuk keberangkatannya kali ini, Febri mengaku melakukan persiapan yang ekstra.
"Karena ada aturan 3x24 jam [karantina], persiapannya harus ekstra, terutama karena ada anak-anak … tapi sejauh ini antigen dan swab sudah reserved [dipesan], tiket dan akomodasi sudah [ada]," katanya.
Mahasiswi jurusan Media and Communication tersebut, bersama suami dan kedua anaknya, akan tiba di Melbourne pada 17 Desember pukul 18:40 waktu setempat, setelah transit di Singapura selama 10 jam.
Febri mengatakan setibanya di Australia, ia ingin segera fokus melanjutkan disertasinya dari kampus, setelah dua tahun "terdistraksi".
"Selama dua tahun ini saya merasa progress saya menurun, sempat kena COVID juga di bulan enam, dan setelahnya long COVID, jadi cepat banget capek dan produktivitas rendah," katanya.
"Jadi betul-betul berharap, dengan saya balik ke Melbourne, apalagi kampus sudah buka, jadi bisa kerja di kantor dan mengejar apa yang tertinggal," tambahnya.
Febri dan keluarganya sudah berada di Melbourne pada tahun pertama kuliahnya, tapi ia kembali ke Aceh untuk proyek penelitian S3-nya.
Ia mengaku tidak menyangka jika keputusannya membuat ia tidak bisa kembali ke Australia sampai dua tahun lamanya dan anak-anaknya pun sudah "benar-benar menanti" ketibaan mereka di Melbourne. Peserta WHV siap terbang akhir Desember
Jeane Setiawan yang tinggal di Bekasi mengatakan ia sudah mengamankan tiketnya menuju Melbourne dengan transit di Sydney pada tanggal 28-29 Desember nanti.
Pemegang Work and Holiday Visa (WHV) tersebut sebenarnya tidak berharap banyak, setelah sempat tidak dapat kuota di pertengahan tahun 2019.
Namun, ia tidak menyangka permohonan visa 'working holiday'-nya disetujui pada 9 Desember, 10 hari setelah ia mengajukan ulang permohonan di akhir November.
"Sudah benar-benar senang banget dan ternyata [prosesnya] cepat banget, jadi siap-siapnya juga harus cepat," ujar Jeane.
"Kita enggak tahu kan, enggak bisa prediksi tiga bulan ke depan apakah border [perbatasan] mau tutup apa enggak, jadi kalau bisa sudah di sana [Australia]," tambah Jeane, yang ingin merayakan Natal dengan keluarga sebelum keberangkatannya.
Rencananya, setibanya di Melbourne Jeane ingin segera mencari pekerjaan di bidang agrikultur demi memenuhi kriteria untuk melanjutkan WHV tahun kedua.
Tahun 2020 dan 2021 merupakan masa dengan "banyak cobaan" bagi Jeane yang sempat terpapar COVID-19 dan kehilangan orang tersayangnya.
Karenanya, ia berharap tahun depan akan membawa berkah.
"Semoga di tahun 2022 lebih baik deh," ujarnya.
"Dan semoga teman-teman WHV yang sudah reapply [mengajukan ulang permohonan visa] dan yang visanya tertahan, bisa cepat-cepat granted." Antisipasi jika aturan berubah lagi
Namun tidak semua warga di Indonesia yang sudah memiliki visa Australia yang berlaku ingin segera ke Australia setelah perbatasan dibuka.
Ahmad Amiruddin Taroada, mahasiswa S3 jurusan teknik energi Monash University memilih untuk berangkat pada pertengahan Januari.
"Saya sendiri belum booking tiket, karena masih mengantisipasi konsistensi aturan tentang pembukaan perbatasan ini," katanya.
"Tapi secara mental kami sudah siap berangkat. Saya bahkan sudah beli koper meski masih waswas."
Sebelum pembukaan perbatasan ditunda1 Desember lalu, Ahmad tak berani berjanji bisa berangkat ke negara ini.
Selama satu tahun menjalani perkuliahan secara daring dari Indonesia, ia merasakan kurangnya suasana perkuliahan sebagaimana bila kuliah secara langsung di kampus.
Selain ingin merasakan kuliah tatap muka, Ahmad juga ingin segera menyelesaikan laporan tahun pertama program S3-nya yang harus diberikan paling lambat akhir Februari tahun depan.
Ahmad menyebutkan pihak Monash University menyediakan jemputan bagi mahasiswanya yang akan datang sejak 15 Desember.
"Kami akan dijemput dari bandara untuk selanjutnya dibawa ke tempat karantina selama tiga hari," tuturnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Program Bantuan Mencari Kerja Untuk Migran di Tasmania Membantu 70 Persen Pesertanya Mendapat Pekerjaan