Tujuh pejabat negara, termasuk salah satunya Presiden RI, dinyatakan bersalah atas kasus pencemaran udara di Jakarta dalam sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 16 September lalu.
"Pertama, mengabulkan gugatan para tergugat sebagian, kedua menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum," demikian putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di ruang sidang Hatta Ali PN Jakarta Pusat pekan lalu.
Dengan demikian, tim Koalisi Ibukota yang memperjuangkan hak warga negara melalui mekanisme 'citizen lawsuit' (CSL) atau gugatan warga negara ini resmi memenangkan gugatan tersebut.
Walau demikian, salah satu penggugat, Khalisah Khalid, tetap ingin memantau implementasi hasil putusan itu.
BACA JUGA: Beberapa Tujuan Wisata di Asia akan Segera Dibuka Kembali, Warga Tetap Berhati-hati
"Kami sebagai penggugat sekaligus warga akan mengawal perubahan kebijakan yang dimandatkan oleh pengadilan terhadap tujuh tergugat," katanya dalam rilis pers Koalisi Ibukota.
Sebagai hukuman, pihak Tergugat pun dibebankan beberapa tanggung jawab yang berkaitan dengan upaya perbaikan kualitas udara ibukota.
BACA JUGA: Usaha Memahami Tanah Air Orang Aborigin
Lima kali pemerintahan Jokowi kalah gugatanIni bukan pertama kalinya kelompok masyarakat memenangkan gugatan terhadap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Sejak masa pemerintahannya dimulai pada tahun 2014, Presiden Jokowi sudah lima kali kalah melawan rakyat di pengadilan.
Di tahun 2017, Presiden RI beserta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan lainnya dinyatakan bersalah atas gugatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah.
Gugatan 'class action' ini diajukan oleh warga yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) atas peristiwa kebakaran hutan hebat yang melanda Kalimantan di tahun 2015.
Presiden beserta pihak Tergugat lainnya sempat mengajukan banding, namun ditolak oleh PN Palangkaraya.
Gugatan lain yang juga dimenangkan warga adalah mengenai iuran BPJS Kesehatan yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) pada 5 Desember 2019.
Pada 1 Januari 2020, tarif BPJS Kesehatan naik 100 persen, dengan iuran Kelas III menjadi Rp42 ribu, Kelas II menjadi Rp110.000 dan Kelas I menjadi Rp160.000.
Melalui putusannya akhir Februari tahun lalu, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran BPJS tersebut.
Presiden RI dan jajarannya juga terbukti bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat awal Juni tahun 2020 lalu.
Putusan ini diumumkan oleh Hakim Ketua Majelis Nelvy Christin di PTUN Jakarta dengan alasan 'throttling' atau pelambatan akses/bandwith di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Papua pada Agustus 2019.
Pemblokiran layanan data dan pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua juga menjadi sebab lain Pemerintah RI dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Apa yang terjadi setelah rakyat menang gugatan?
Setelah dinyatakan bersalah, para Tergugat dalam kasus di atas dibebani tanggung jawab sebagai konsekuensi pelanggaran hukum.
Namun, penelusuran ABC Indonesia menemukan bahwa tidak semua hukuman yang tercantum dalam hasil putusan dilaksanakan.
Dalam kasus karhutla, bukti di lapangan menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah masih terjadi dan malah meluas.
Di tahun 2019, KLHK mencatat bahwa luas karhutla di provinsi tersebut adalah 317,749 ha.
Sementara itu, pada 23 Juli 2021, luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah yang tercatat sudah mencapai 369,92 ha.
Dalam kasus iuran BPJS, pemerintah tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan tertanggal 1 Juli 2020, enam bulan setelah putusan diumumkan.
Sedangkan, dua bulan setelah putusan perkara internet di Papua, yaitu pada tanggal 15 Agustus, internet di Papua kembali diperlambat menjelang peringatan satu tahun demonstrasi diskriminasi rasial etnis Papua. Lalu apa arti kemenangan rakyat kalau masih ada pelanggaran?
Kenyataan ini disebut sebagai "paradoks dalam dunia penegakan hukum" oleh pakar hukum tata negara Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman.
"Seringkali kemenangan-kemenangan publik di peradilan itu begitu mudahnya diakali oleh kebijakan pemerintah yang seakan-akan upaya mematuhi itu ditampilkan ke publik, tapi kenyataannya tidak," kata Herlambang.
"Kenyataannya justru berulang kasusnya."
Herlambang khawatir ini juga akan terjadi pada putusan gugatan polusi udara yang baru diumumkan pekan lalu.
"Saya khawatir kemenangan yang terjadi akan menjadi kemenangan [di atas] kertas, walaupun kita apresiasi atas kemenangan itu," katanya.
"Tapi dari pihak pemerintah, sejauh mana komitmennya untuk menjalankan putusan, termasuk memastikan bahwa tidak terjadi pengulangan?" Mengapa paradoks ini terus terjadi?
Menurut Herlambang, masalah ini secara kontekstual "berkaitan erat dengan kemunduran demokrasi di Indonesia".
Konteks tersebut menurutnya penting dijadikan variabel dalam melihat "pengulangan atau tidak sungguh-sungguhnya" pemerintah dalam upaya penegakan hukum.
"Menang di pengadilan tapi realitanya tidak berubah," kata Herlambang.
"Salah satu penanda kuatnya adalah, memang Indonesia hari ini, dalam pembentukan hukum, atau praktik hukumnya dipengaruhi oleh otokratik legalism."
Otokratik legalism menurut Herlambang adalah cara pandang untuk melihat bahwa aturan atau kebijakan tertentu yang dihasilkan "lebih berorientasi untuk merawat relasi kuasa oligarki".
Menurutnya, yang menjadi masalah adalah bagaimana relasi kuasa oligarki, atau pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, "tertanam" dalam struktur kekuasaan negara.
"Sistem kekuasaan oligarki ini memanfaatkan representasi formal ketatanegaraan dengan memenangkan Pemilu ... yang kemudian kebijakannya menjadi menegasikan," kata dia.
"Jadi mau apa pun bunyi putusan pengadilan, dia enggak peduli. Bahkan apa pun putusan lembaga negara, ya dia enggak peduli." Adakah pilihan mekanisme gugatan yang paling efektif untuk warga?
Kelima kasus gugatan di atas menjadi contoh penuntutan hak sebagai warga negara yang ditempuh melalui jalur hukum.
Selain 'citizen lawsuit' (CSL) atau gugatan warga negara, warga bisa menggunakan metode gugatan lain, yaitu 'class action' atau gugatan perwakilan kelas.
CSL bisa dilakukan oleh siapa pun yang memiliki KTP warga negara Indonesia, sementara 'class action' dilakukan oleh satu, dua, atau lima orang yang mewakili kelas tertentu.
Selain lewat pengadilan, pertanggungjawaban negara juga bisa diminta melalui mekanisme permohonan, atau pengaduan ke lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam sistem ketatanegaraan.
"Misalnya pengaduan ke Komnas HAM, kaitannya dengan pelanggaran HAM, atau pengaduan ke Ombudsman RI, misalnya jika ada indikasi maladministrasi," katanya.
Menurut Herlambang, efektif atau tidaknya metode ini sangat bergantung pada sejumlah faktor.
Ia mengatakan hal yang paling mendasar adalah sejauh mana negara hukum demokratis ada sebagai pemandu dalam proses bernegara.
"Kalau kita masih menyaksikan banyak diskriminasi, layanan publik yang koruptif, kebijakan yang lebih orientasi ke oligarki, ya kembali lagi ke penjelasan otokratik legalism itu.
"Akan bisa sewenang-wenang kecenderungannya." Siapa yang harus mengawasi pemenuhan hasil putusan?
Berkaitan dengan kebijakan layanan publik, Komnas HAM dan Ombudsman sebagai 'watchdog institutions' memegang tanggung jawab ini.
Herlambang mengatakan keduanya merupakan 'State Auxiliary Bodies' atau lembaga negara bantu yang bertugas mengawasi sesuai wewenangnya.
Penggugat secara sukarela juga boleh turut mengawasi. Bila putusan tidak dijalankan pemerintah, apakah rakyat bisa menggugat lagi?
"Kalau pertanyaannya apakah bisa, ya tentu bisa," ujar Herlambang.
Namun, menurutnya negara hukum yang demokratis bukanlah soal gugat-menggugat.
"Negara hukum itu akan berlangsung secara demokratis bila penyelenggara pemerintahan itu juga punya komitmen politik yang kuat untuk menjalankan kekuasaannya," ujarnya.
Komitmen politik yang dimaksud Herlambang adalah komitmen yang protektif terhadap warga negara.
Fenomena gugatan, menurutnya, bisa terjadi karena "representasi politik warga negara tidak berjalan, abai kebijakannya, atau dilanggar" sehingga harus dipastikan bahwa wewenang yang dimiliki penguasa itu dijalankan.
"Apalagi sudah ada putusan pengadilan, harusnya enggak perlu masyarakat sipil menggugat lagi," tutur Herlambang. Lebih dari perkara di meja hijau dan 'di atas kertas'
Pada akhirnya, ahli hukum yang memperoleh gelar doktoralnya dari Universiteit Leiden, Belanda, ini menekankan bahwa "berhukum bukan semata soal pengadilan".
"Inisiatif perubahan lebih baik itu juga bukan sekadar putusan di meja hijau, tetapi juga kekuasaan di eksekutif maupun legislatif untuk memperkuat jaminan perlindungan hak warga negara," katanya.
Ia menambahkan, sebaiknya pengambil kebijakan "tidak perlu alergi" dalam mengembangkan upaya partisipasi publik, yang adalah bagian dari pengembangan demokrasi.
Herlambang juga menyayangkan kecenderungan yang menganggap partisipasi publik sebagai bentuk "tokenisme" atau hanya untuk formalitas saja.
"Padahal masyarakat sipil itu benar-benar peduli terhadap keberlangsungan kehidupan dan keberlanjutan ekologis."
"Mestinya inisiatif itu dihargai oleh mereka, pengambil kebijakan, maksudnya," tutup Herlambang.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sektor Properti Tiongkok Terancam Anjlok Akibat Kasus Evergrande, Perusahaan Dengan Utang Rp4 Ribu Triliun