Tempat tujuan wisata populer di Asia Tenggara dan Pasifik mulai membuka kembali perbatasan mereka bagi wisatawan internasional.
Pembukaan ini disertai langkah-langkah untuk meminimalkan risiko wabah COVID-19.
BACA JUGA: Mobilitas Masyarakat Makin Meningkat, Menkominfo: Jangan Lengah Menerapkan Protokol Kesehatan
Thailand telah bereksperimen dengan membuka kembali pulau terbesarnya, Phuket, bagi turis luar negeri yang dikenal sebagai "Sandbox", istilah yang berarti kotak pasir.
Vietnam berencana untuk mengikuti model tersebut bulan depan dan mengizinkan pengunjung internasional berlibur ke pulau Phu Quoc.
BACA JUGA: Mensos Risma: Tidak Benar Kemensos Hentikan Program Bansos
Tempat-tempat seperti Fiji dan Indonesia telah mengumumkan rencana untuk membuka kembali perbatasan mereka bagi wisatawan pada bulan November.
Setelah penyebaran COVID-19 terus terjadi selama lebih dari dua bulan, Indonesia mulai melonggarkan pembatasan bagi wisatawan lokal di pulau Bali, dan berharap dapat segera menyambut wisatawan dari seluruh dunia.
BACA JUGA: Kiai Sepuh Mendesak PBNU Menggelar Muktamar, Begini Respons Ketua GP Ansor
Warga lokal Bali, Rezuwana Burhan, mengatakan sangat gembira melihat pengunjung setelah Bali membatasi ketat perjalanan selama berbulan-bulan.
"Awalnya seperti kota hantu," katanya.
"Tapi sekarang seperti orang mencoba mencari energi dan semangat lagi, terutama di kawasan Kuta."
"Kalau saat ini dibandingkan dengan waktu sebelum COVID-19, itu tidak sebanding. Tapi tetap saja, kami berusaha untuk menghidupkan kembali industri pariwisata kami."
Meskipun Bali tetap memberlakukan beberapa pembatasan, tempat-tempat wisata populer seperti Pantai Kuta, Tanah Lot, dan Hutan Monyet Sangeh kini terbuka untuk penduduk lokal.
Pengunjung harus sudah divaksinasi dua kali, dan menunjukkan sertifikat mereka di aplikasi digital supaya diizinkan masuk.
Di beberapa tempat, seperti Tanah Lot, kode QR digunakan untuk memeriksa apakah orang memenuhi persyaratan sebelum mereka masuk.
Rezuwana mengatakan langkah-langkah keamanan untuk kesehatan masyarakat turut menciptakan rasa aman bagi warga setempat.
"Masih lockdown, tapi tidak seketat dulu. Sekarang pantai sudah dibuka, dan tempat-tempat umum bisa beroperasi hampir seperti biasa," ujarnya.
"Sekarang setelah dibuka kembali, orang-orang merubungi daerah-daerah ini seperti lebah."
Rezuwana mengaku bersemangat, tetapi berhati-hati atas risiko penularan virus corona.
"Khususnya untuk yang bekerja di sektor pariwisata, kami ingin semuanya terbuka," katanya.
"Tetapi kami takut jika kami membuka pintunya [untuk pengunjung], wabah lain akan terjadi dan makan waktu satu atau dua tahun lagi dengan situasi yang sama.
"Kami perlu makan, tetapi kami tidak ingin virus corona tinggal di sini lebih lama daripada yang seharusnya."
Ni Luh Ekayani, yang biasa dipanggili Caca, bekerja sebagai pemandu wisata bagi wisatawan Prancis di Bali sebelum pandemi.
Caca dan ayahnya kehilangan mata pencaharian mereka selama pandemi karena berkurangnya jumlah turis asing di sana.
Namun, saat keadaan mulai kembali normal, Caca berharap bisa kembali bekerja di sektor pariwisata.
Turis asing diharapkan akan diizinkan kembali masuk mulai November setelah 70 persen penduduk Bali telah divaksinasi.
"Saya sangat antusias menunggu semuanya kembali normal," katanya.
"Saya sangat senang, dan saya berharap wisatawan mancanegara bisa segera datang berlibur ke Bali." Model 'Sandbox' Thailand diadopsi pariwisata internasional
Usai mengalami beberapa tantangan di bulan Juli, Program Kotak Pasir Phuket dilaporkan berjalan lancar dan sudah dipakai sebagai model pariwisata internasional untuk negara-negara lain di kawasan ini.
Melalui skema tersebut, wisatawan dari luar negeri harus tinggal di Phuket selama 14 hari sebelum diizinkan untuk menjelajah tempat lain di negara ini.
Mereka harus divaksinasi dua kali dan menunjukkan hasil tes negatif dalam 72 jam setelah kedatangan mereka ke Phuket, serta melakukan tiga tes selama periode 14 hari mereka di "Sandbox".
Program ini menimbulkan kontroversi beberapa hari setelah diluncurkan karena kasus COVID-19 yang meningkat tajam di Phuket.
Program tersebut namun telah menghidupkan kembali industri pariwisata Thailand.
"Selama 15 bulan tidak ada turis internasional di Phuket sama sekali — seperti di mana pun di dunia, ini pasti menjadi tantangan," kata Daniel Meury, manajer umum Andara Resort di Phuket.
"Sekarang setidaknya kami kedatangan beberapa tamu, kami ada penghasilan. [Pada umumnya], itu akan sangat membantu perekonomian — berkat program Sandbox."
Meski demikian, industri pariwisata di sana belum sepenuhnya pulih. Hotel-hotel tidak penuh, dan ada juga yang kapasitasnya tidak sebesar 50 persen, katanya.
"Pasti ada lebih banyak orang di pulau itu. Sayangnya, masih butuh sedikit waktu lagi."
Mengingat risiko wabah yang terus ada, Meury menekankan pentingnya membuka kembali kawasan secara perlahan dan bertahap.
"Ini cara yang terbaik, karena kita berurusan dengan negara-negara besar dengan banyak orang, jadi tidak bisa langsung membuka seluruh negara," katanya.
"Tetapi untuk melakukannya dalam bubble seperti ini, saya pikir itu berhasil dengan sangat baik untuk semua orang."
Pemerintah Thailand sekarang berencana untuk membuka kembali Chiang Mai serta resor pantai Pattaya, Cha Am dan Hua Hin untuk pengunjung internasional mulai 1 Oktober dengan model yang mirip dengan Phuket.
Chiang Rai, Koh Chang dan Koh Kood diperkirakan akan juga dibuka akhir bulan itu, dan Bangkok dibuka kembali pada bulan November. Risiko wabah tetap ada
Pariwisata adalah industri penting bagi banyak ekonomi Asia Tenggara.
Pada tahun 2019, pariwisata menyumbang lebih dari 20 persen dari PDB Thailand, 10 persen dari Vietnam, dan lebih dari 6 persen dari Indonesia.
Di Pasifik, angka-angka ini bahkan lebih tinggi.
Industri pariwisata Fiji menyumbang hampir 40 persen dari PDB pada 2019, sementara di Vanuatu angka itu hampir 50 persen.
Selain dari manfaat ekonomi dari pembukaan, spesialis penyakit menular Australian National University Sanjaya Senanayake memperingatkan masih ada bahaya.
"Saat membuka perbatasan, kita membiarkan orang dengan COVID masuk ke negara," katanya, mengenai risiko berkelanjutan dari wabah yang lebih besar dan tekanan berikutnya pada sektor kesehatan lokal.
Namun, dia mengetahui dampak buruk pandemi terhadap mata pencaharian orang yang tinggal di negara-negara yang bergantung pada pariwisata.
"Kita harus pragmatis. Di negara berkembang, [kita harus menemukan] keseimbangan antara memelihara proses kesehatan masyarakat, versus menjalankan ekonomi," katanya.
Menurutnya, "satu ukuran belum tentu cocok untuk semua".
"Ini akan menjadi kombinasi strategi dalam menghadapi masuknya orang yang datang dari luar negeri."
Diproduksi dari laporan dalam bahasa Inggris.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usaha Memahami Tanah Air Orang Aborigin