Hanya beberapa minggu setelah puncak penularan kasus COVID-19 di Indonesia, Rahmadian Satari dan istrinya Myrna Kirana yang tinggal di Jakarta memutuskan untuk pergi berlibur ke Bali.

"Ketika jumlah kasus menurun, saya mendengar kantor saya akan segera merencanakan agar staf kembali bekerja di kantor," kata Poki nama panggilan Rahmadian Satari kepada ABC.

BACA JUGA: Jelang Bertarung di Piala Sudirman, Tim Bulu Tangkis Indonesia Tambah Menu Latihan

"Jadi kami pikir ini waktu yang paling baik untuk pergi liburan, juga ketika Bali masih relatif sepi."

Situasi terkait dengan COVID-19 di Indonesia, terutama di Jawa dan Bali memang membaik dengan turunnya angka kasus. 

BACA JUGA: SE MenPAN-RB Nomor 23 Tahun 2021, Seluruh PNS dan PPPK Wajib Tahu, Ada Kabar Baiknya

Jumlah kasus aktif yang pernah mencapai angka tertinggi sebanyak lebih dari 570 ribu di bulan Juli, dalam minggu ini tercatat hanya sekitar 50 ribu kasus.

Menurut data Satgas COVID, jumlah kasus baru hari Senin (20/9/2021) adalah 1.932 kasus, menjadikannya angka kasus terendah di tahun 2021.

BACA JUGA: LaNyalla Ungkap Kondisi Guru PAUD di Masa Pandemi, Kasihan...

Pemerintah juga sudah melonggarkan pembatasan, dan turis lokal sudah diizinkan untuk mengunjungi daerah wisata seperti Bali dan Lombok.

Namun dengan tingkat vaksinasi dua dosis yang masih rendah, ada kekhawatiran akan terjadi 'wisata balas dendam' yang bisa menyebabkan gelombang ketiga penularan COVID-19.

Sebelum memutuskan pergi ke Bali, Rahmadian Satari dan istrinya Myrna Kirana hanya bekerja dari rumah, dan tidak pernah keluar.

Mereka khawatir terular karena melihat sistem layanan kesehatan di Indonesia yang kewalahan menangani kasus COVID-19.

"Kami khawatir namun dalam waktu bersamaan bosan juga di rumah karena selama 18 bulan kami tidak bisa liburan," kata Poki yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta.

Meski angka kasus di Indonesia mulai menurun, mereka masih melakukan banyak persiapan serius ketika hendak berlibur, apalagi Myrna tidak bisa divaksinasi karena memiliki kondisi autoimmune disease.

Rahmadian mengatakan, di pesawat mereka menggunakan masker yang biasa dipakai oleh dokter, selalu makan di ruang terbuka dan tinggal di vila yang paling sepi yang bisa mereka temukan.

"Sebelum sampai, kami memang agak sedikit khawatir namun sampai di sini kami merasa aman, itulah mengapa kami perpanjang sampai sebulan," kata Rahmadian Satari lagi. Menjadi pusat penyebaran tertinggi di Asia

Di saat kasus mulai meningkat lagi karena adanya varian Delta di berbagai negara, pemerintah meminta warga untuk tidak pulang kampung merayakan Idul Fitri di bulan Mei.

Kasus kemudian meningkat dengan cepat di bulan Juli dan Agustus dengan angka kematian melebihi angka 100 ribu orang di awal Agustus.

Menurut angka dari Satgas COVID-19, hanya dalam waktu sembilan pekan dari akhir Mei, jumlah kematian naik dua kali lipat menjadi 100 ribu orang, sementara diperlukan waktu 14 bulan untuk mencapai 50 ribu kematian pertama.

Dengan rumah sakit terutama di Pulau Jawa yang kewalahan menampung pasien , kurangnya persediaan oksigen, banyak pasien kemudian dirawat di rumah sendiri oleh keluarga dengan fasilitas terbatas.

Menurut data dari Johns Hopkins Worldometer, puncak kasus tertinggi di Indonesia adalah pada tanggal 15 Juli di mana ada 56.757 kasus.  Sementara angka kematian harian tertinggi terjadi seminggu kemudian pada tanggal 27 Juli, sebanyak 2.069 orang.

Presiden Jokowi kemudian menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai tanggal 3 Juli, yang pada awalnya hanya berlaku sampai tanggal 20 Juli, namun kemudian diperpanjang sampai bulan September saat ini.

Minggu lalu, pemerintah  memutuskan untuk menurunkan tingkat PPKM dari level 4 ke level 3 di Pulau Jawa dan bali, karena kasus yang menurun dengan cepat.

Hari Selasa (22/09) pihak berwenang menyatakan yang meninggal dunia karena COVID-19 adalah sebanyak 171 orang.

Menurut Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Pandjaitan, pemerintah sedang  mempertimbangkan untuk mengizinkan turis asing masuk ke Bali dan ke bagian Indonesia lainnya kemungkinan di bulan Oktober.

Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Indonesia, Profesor Wiku Adisasmito mengatakan penurunan kasus COVID-19 di Indonesia saat ini terjadi karena kerja sama seluruh elemen.

"Mempertahankan lebih sulit daripada mencapainya, oleh karena itu diperlukan kerja sama serta konsistensi dalam mengendalikan COVID-19 dengan rasa penuh tanggung jawab."

"[Dengan cara] optimalisasi implementasi kebijakan yang ada, dan terus monitoring keadaan di lapangan, melakukan evaluasi jika perlu mengingat COVID-19 amat dinamis," kata Profesor Wiku kepada Sastra Wijaya, wartawan ABC Indonesia. Trend menurun mirip dengan India 

Menurut Septian Hartono, koordinator data lembaga independen pengumpul data Kawal COVID-19, tren yang terjadi di Indonesia mirip dengan apa yang terjadi di India.

"Gelombang Delta di Indonesia ini mirip polanya dengan India: cepat naik, lalu cepat turunnya juga," kata Septian.

"Walaupun kasus yang sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi dari angka resmi karena keterbatasan testing dan kurangnya surveilans, trennya konsisten, bahwa gelombang Delta ini sudah berakhir."

Kawal COVID-19 juga membandingkan apa yang terjadi dengan gelombang Delta di Jakarta dengan populasi 10 juta orang dan Sydney yang memiliki 8 juta orang.

"Lonjakan kasus di Sydney berjalan perlahan karena ada strategi melandaikan kurva supaya fasilitas kesehatan tidak kewalahan, tapi kurva naik dan turun perlahan," ujarnya.

"Sementara di Indonesia cepat naik, cepat turun, tapi dengan konsekuensi fasilitas kesehatan kolaps dan jumlah kematian yang banyak," katanya lagi.

Dr Riris Andono Ahmad, epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan penyebab penurunan kasus masih belum jelas, sehingga data dari lapangan masih diperlukan.

Dia mengatakan bisa menjelaskan apa yang terjadi di Jakarta, dengan tingginya kasus positif sebelum adanya kasus varian Delta dengan tingginya angka vaksinasi, yang menyebabkan tercapainya kekebalan kelompok atau 'herd immunity'.

Namun di tempat lain, misalnya di Jawa Tengah atau di Yogyakarta, banyaknya warga yang sudah memiliki imunitas, tingkat vaksinasi, serta PPKM mungkin menjadi faktor pendukung penurunan kasus, katanya.

"Namun saya belum mendapat jawaban sepenuhnya," katanya.

Dari sasaran 208 juta jumlah penduduk Indonesia untuk vaksinasi, sekitar 23 persen sejauh ini sudah mendapatkan vaksinasi dua dosis menurut data dari Kementerian Kesehatan Indonesia.

Pemerintah menetapkan target vaksinasi 2,3 juta orang setiap hari selama bulan September.

Dr Riris Andono mengatakan dari pengamatan kualitatif yang dilakukannya memang menunjukkan situasi sudah membaik.

"Kita tidak lagi mendengar suara ambulans yang membawa mereka yang meninggal untuk dikuburkan sebanyak di bulan Juli," katanya.

Sejauh ini Indonesia sudah mencatat lebih dari 4,17 juta kasus COVID-19 dengan lebih dari 139 ribu kematian.

Tapi Septian mengatakan angka resmi yang ada tidaklah menunjukkan keadaan sebenarnya dari pandemi yang terjadi di Indonesia.

"Sekarang adalah saat yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan audit data kematian sekaligus survei seroprevalensi untuk mengetahui skala wabah ini di Indonesia.

"Kita bisa mengetahui dengan melihat data kematian [excess death] selama pandemi ini dan berapa porsi penduduk Indonesia yang sudah memiliki antibodi [seroprevalensi]," katanya.

Merujuk data di Jakarta, Kawal COVID-19 memperkirakan 60 hingga 70 persen penduduk Jakarta mungkin sudah pernah terpapar COVID, jauh di atas jumlah kasus yang terkonfirmasi yaitu sekitar 8 persen dari penduduk Jakarta.

"Sayangnya kita tidak memiliki data yang sama untuk skala nasional," kata Septian. 'Wisata balas dendam'

Sama seperti keluarga Satari, Tepi Mumpuni memutuskan untuk melakukan perjalanan karena kasus menurun, dengan bepergian bersama tiga teman perempuannya naik mobil sejauh 560 km dari Jakarta ke Semarang dan Yogyakarta.

"Kami menunggu sampai kami semua sudah divaksinasi penuh," kata Tepi yang beberapa bulan lalu baru berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan di Jakarta.

"Kami memilih Yogyakarta sebagai tujuan utama karena tidak terlalu jauh dari Jakarta.

"Kami menyetir sendiri dan juga membawa peralatan makan sendiri dan juga makanan, sehingga kalau pergi ke restoran dan penuh kami tidak masuk."

Dr Riris Andono dari UGM Yogyakarta mengatakan dia sekarang mengkhawatirkan apa yang disebut 'wisata balas dendam' yang sudah muncul dalam pembicaraan di media lokal.

Ia mengatakan sejak pandemi di tahun 2020, gelombang penularan COVID-19 terjadi karena perayaan hari raya keagamaan, seperti saat jutaan warga mudik ke kampung halaman mereka, terutama di Pulau Jawa.

"Kita lihat Lebaran di tahun 2020, di mana sebelumnya kasus lebih banyak terjadi di Jakarta kemudian mulai menyebar ke berbagai kota di Jawa," katanya.

"Di Lebaran tahun 2021 yang dimulai bulan Mei, bersamaan dengan menyebarnya varian Delta di seluruh dunia, kemudian mencapai puncaknya di Indonesia pas Lebaran Haji bulan Juli."

Saat ini tidak ada hari liburan besar sampai hari Natal di bulan Desember, namun Dr Riris Andono masih merasa khawatir.

"Kita memiliki semakin banyak warga kelas menengah yang selama dua tahun terakhir tidak menjalani liburan," katanya.

"Sekarang beberapa orang sudah mengatakan mereka akan berlibur di akhir pekan ke sebanyak mungkin tempat dan sesering mungkin."

Ia mengatakan, dengan penurunan kasus dan pelonggaran PPKM, warga yang kembali bergerak adalah hal yang bagus dari sisi ekonomi dan sosial, tapi kerumunan warga di tempat-tempat wisata harus bisa dikelola dengan baik.

"Ini tugas besar bagi Pemerintah dan juga bagi kita sebagai warga," katanya.

"Kita bisa mengunjungi pantai yang sepi misalnya, kan tidak apa, tapi kalau kita mendatangi pantai yang penuh orang apa yang kemudian harus kita lakukan?"

Baik Rahmadian Satari dan Tepi Mumpuni di Jakarta menyetujui kekhawatiran Dr Riris Andono mengenai pergerakan warga di hari libur keagamaan yang besar, namun merasa optimistis sekarang keadaan telah terkendali dan berharap bisa melakukan perjalanan lagi.

"Kami sudah berencana liburan ke Yogyakarta lagi di bulan Desember dan bila nantinya tidak ada keharusan karantina kami berencana liburan ke luar negeri bulan Mei tahun depan," kata Tepi Mumpuni.

"Di sini selain liburan panjang seperti Lebaran, saya kira jumlah orang yang melakukan perjalanan tidaklah besar.

"Dengan pengaturan dari pemerintah dan juga kita semua lebih waspada, saya tidaklah khawatir.'

Rahmadian Satari mengkhawatirkan bahwa masyarakat Indonesia bisa dengan mudah lengah namun sejauh ini merasa aman dengan apa yang dialaminya di Bali.

"Bali kan sangat menggantungkan diri pada wisata, jadi warga di sana sadar betul dengan memperlakukan COVID-19 dengan serius, dan mereka sudah menunjukkan sehingga para turis merasa aman untuk datang," pungkasnya.

Baca beritanya dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Khawatir Kasus Covid-19 Meledak Lagi, Mbak Rerie Berpesan Begini

Berita Terkait