jpnn.com, NGAWI - Upaya pembebasan lahan tol ruas Mantingan-Kertosono (Manker) di Desa Dempel, Kecamatan Geneng, Ngawi, Jatim, mendapat perlawanan.
Pihak keluarga M. Munawar Suradi, pemilik lahan menolak eksekusi dan duit konsinyasi sebesar Rp 2 miliar.
BACA JUGA: Anak Korban Kejahatan bisa Ajukan Restitusi, Ini Prosedurnya
Mereka bersikeras menempati bangunan rumah dan tanah seluas 3.575 meter persegi. Meski begitu, proses eksekusi tetap berlanjut dengan pengamanan penuh petugas kepolisian dan TNI.
Pantauan Jawa Pos Radar Ngawi, meski berontak pihak keluarga M. Munawar Suradi tetap diusir paksa. Sejak pukul 08.00, puluhan polisi sudah bersiaga di seputaran rumah Suradi.
BACA JUGA: Aturan Baru: Anak Korban Kejahatan Bisa Tuntut Ganti Rugi
Sedangkan, pihak keluarga Suradi memilih bertahan di depan pintu rumah. Tak berselang lama, petugas kepolisian membentuk barisan di depan rumah.
Djasman, juru sita pengadilan negeri Ngawi berada di posisi paling depan. Dia membacakan surat putusan eksekusi lahan Nomor 34/Pdt.P.Kons.Eks/2017/PN.Ngw.
BACA JUGA: Usul Mekanisme Ganti Rugi Korban First Travel Mirip Lapindo
’’Demikian penetapan eksekusi. Perintah sudah jelas. Eksekusi tetap dijalankan demi tegaknya supremasi hukum,’’ ucap Djasman.
Setelah rampung, satu persatu petugas kepolisian merangsek masuk. Pihak keluarga pemilik rumah yang semula di pintu justru masuk. Masing-masing duduk di kursi ruang tengah rumah tersebut.
’’Tahap pertama, bapak-bapak ini bantu apa-apa yang ada di dalam dikeluarkan, setelah orangnya barang-barangnya,’’ imbuh Djasman.
Suasana mulai memanas. Saat diminta untuk meninggalkan rumah, anggota keluarga Suradi justru ngotot bertahan.
Masing-masing belum terima dengan keputusan eksekusi lahan yang akan dipakai untuk pembangunan tol.
Adu urat pun sempat terjadi. Lantaran usaha untuk meminta secara baik-baik tidak mendapatkan respons, petugas pun mulai mengambil tindakan paksa.
Beberapa anggota keluarga Suradi dievakuasi keluar rumah, sedangkan sebagian lainnya di angkat dari kursi duduknya.
Tidak pelak, kondisi tersebut mencuri perhatian warga sekitar yang menonton proses ekesekusi.
Setelah masing-masing keluarga berhasil dikeluarkan, petugas pun mulai memindahkan semua barang.
Dua unit sepeda motor, dua sepeda, sejumlah lemari dan beberapa perabotan lainnya. Sebuah backhoe pun mulai meratakan bangunan.
Ternyata, keluarga Suradi tidak menyerah. Mereka masih saja berjibaku dengan petugas berusaha menuju rumah yang sedang dieksekusi tersebut.
Kurang lebih lima hingga enam kali petugas harus bolak-balik mengamankannya. ’’Hari Kamis (9/11) kami datang bersama kapolsek meminta dengan persuasif untuk dibongkar sendiri karena dibeli. Tapi tidak mau,’’ kata Djasman.
Djasman menjelaskan, lahan milik Suradi dibutuhkan untuk pembangunan tol. Sebab, berada tepat di jalur tol Mantingan-Kertosono (Manker) STA 90+850. Hak atas tanah tersebut dicabut.
Pihak memilik lahan selanjutnya diberikan ganti rugi sebesar Rp 2 miliar. Dengan rincian, Rp 528 juta untuk nilai tanah yang dihitung Rp 148 ribu per meter persegi, Rp 547 juta untuk bangunan rumah, Rp 453 juta untuk bangunan masjid.
Dan selebihnya untuk ganti rugi tanaman, kerugian non fisik (solatium), biaya transaksi dan kompensasi masa tunggu.
’’Saat ini uang ganti rugi di kas panitera Pengadilan Negeri (PN) Ngawi. Silakan diambil,’’ tuturnya.
Meski duit konsinyasi sebesar Rp 2 miliar, ternyata pemilik lahan tidak terima dengan jumlah ganti rugi yang diberikan.
Djasman pun tidak tahu jumlah permintaan ganti rugi yang diinginkan oleh Suradi. Dirinya berdalih pihaknya hanya mendapatkan surat permohonan untuk melakukan eksekusi lahan tersebut dari pejabat pembuat komitmen, Gunadi. ’’Berkas datang sudah fix seperti ini,’’ imbuhnya.
Sementara, Munir, salah satu anak Suradi mengaku tidak terima dengan eksekusi tanah milik keluarganya itu. Pasalnya banderol harga ganti rugi yang diberikan appraisal terlalu murah. Rp 148 per meter persegi.
Menurutnya, uang ganti rugi tersebut dianggapnya tidak cukup untuk membeli lahan dan membangun rumah baru.
Dirinya beralasan, harga yang diberikan di wilayah Widodaren jauh lebih tinggi dengan yang diterima oleh pihaknya.
’’Kalau di daerah Widodaren bisa sampai Rp 1 juta, Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Saya tahu karena familiar dengan orang-orang tol,’’ ungkap pria yang diketahui bekerja di proyek pembangunan tol tersebut.
Dia mengatakan, awalnya harga ganti rugi tanah per meter untuk lahan tersebut Rp 120 ribu per meter di tahun 2008. Hingga akhirnya di tahun 2015 terjadi kenaikan. Sayangnya, nilainya kecil. Dari Rp 120 ribu menjadi Rp 148 ribu per meter.
Namun, ganti rugi tersebut tidak cukup. Dia pun mengajukan proposal meminta kenaikan harga ganti rugi dengan menyertakan sejumlah salinan harga ganti rugi di sejumlah lokasi lainnya.
Sayangnya, pihaknya tidak mendapatkan respons. Justru panggilan dari PN Ngawi untuk mengambil ganti rugi dan berujung pada permintaan pengosongan lahan.
’’Kami tidak datang ke pengadilan. Karena dengan datang ke sana berarti menerima dieksekusi,’’ jelasnya. (odi/ota)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembebasan Lahan Akses ke Tol Pemalang-Batang Molor
Redaktur & Reporter : Soetomo