jpnn.com - Di dalam Pasar Cihapit, Bandung, terdapat kios bernama Warung Nasi Bu Eha. Bukan sembarang warung, karena masakannya memikat lidah keluarga Proklamator RI Bung Karno.
Laporan Nur Fidhiah Shabrina, Bandung
BACA JUGA: Kisah dari Condet, Migrasi Keturunan Arab dan Inspirasi Perlawanan Jawara
PEREMPUAN sepuh terlihat melayani pelanggan di Warung Nasi Bu Eha. Tubuhnya bungkuk, sedangkan tangannya pun sudah tak cekatan.
Namun, sosok lansia itu tetap bersemangat menyapa setiap pengunjung yang mendatangi warungnya. Dia selalu menyambut pengunjung dengan keramahan.
BACA JUGA: Taman Bung Karno di Singaraja, Destinasi Anyar tentang Putra Sang Fajar di Bali Utara
Itulah Eha, generasi kedua pemilik warung nasi legendaris di Kota Bandung tersebut. Warung Nasi Bu Eha menempati sebuah kios sederhana di pasar yang ada di Jalan Cihapit itu.
Meski kiosnya kecil, Warung Nasi Bu Eha menawarkan keakraban. Bangku dan meja dipasang berjajar di depan warung, sehingga antarpengunjung bisa saling berbincang sembari menikmati nasi hangat dengan sayur dan lauk yang lezat.
BACA JUGA: Irjen M Iqbal, Sukses Sirkuit Mandalika, & Doa dari Pulau Seribu Masjid
Bu Eha mengonsep warung nasinya bergaya prasmanan. Warung itu menjajakan aneka masakan Sunda yang autentik, seperti bermacam-macam pepes, telur bumbu rendang, gepuk, tahu tempe, ayam goreng, dan sebagainya.
Di warung Bu Eha ada tiga pekerja. Mereka bertugas memasak maupun melayani pembeli.
Di sudut dinding warung terdapat foto Presiden Pertama RI Soekarno. Ada pula foto Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Kliping dari koran yang memuat kisah warung tersebut juga tampak dipigura dan dipajang di salah satu dinding warung.
Selain itu, ada pula potret salah satu istri Bung Karno, Hartini. Foto Guruh Soekarnoputra juga terlihat dipajang di dinding warung.
Eha menuturkan ibunya, Bu Enok, membuka warung itu pada 1946. Saat itu, lokasi warungnya masih berada di lapangan di belakang Pasar Cihapit.
"Waktu itu belum di pasar seperti sekarang, hanya di lapangan saja," tutur Eha di kepada JPNN.com di warungnya, belum lama ini.
Pada pertengahan 1947, Belanda melakukan Agresi Militer I. Banyak tentara Belanda yang tinggal di Bandung.
Oleh karena itu, Bu Enok menyediakan makanan ala Barat. "Dahulu hanya ada bistik, setup dan sup-sup, karena kebanyakan yang beli masih orang Belanda," ujar Eha.
Seiring waktu berjalan, masakan tradisional Sunda yang lebih familier menggantikan menu bistik dan setup di Warung Nasi Bu Eha. Kini, masakan andalan warung makan itu ialah daging gepuknya.
Daging gepuk di Warung Nasi Bu Eha dimasak dengan resep turun-temurun. Eha pun mempertahankan resep itu.
Menurut Eha, dirinya sempat pindah ke Yogyakarta pada 1949. Namun, dia kembali ke Bandung demi meneruskan warung ibunya.
Kelezatan masakan di warung Bu Eha membuat keluarga Bung Karno terpikat. Menurutnya, Guntur Soekarnoputra dan Guruh termasuk kerap menyambangi Warung Nasi Bu Eha.
Memang Guntur pernah berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). "Guntur pasti datang dengan teman-temannya, kalau Guruh makanan favoritnya paling-paling jengkol," kata Eha.
Perempuan yang kini berusia 90 tahun itu megisahkan warungnya juga menjadi tempat makan Bu Hartini. Setelah Bung Karno meninggal, kata Eha, Bu Hartini pindah ke Bandung dan tinggal di Jalan Anggrek.
Lokasi rumah Hartini dekat dengan warung Bu Eha. Oleh karena itu, Hartini dan keluarganya kerap mampir ke warung makan tradisional itu.
"Bu Hartini suka rendang otak dan udang," kata Eha.
Ridwan Kamil yang pernah menjadi Wali Kota Bandung juga biasa jajan di warung itu. Bu Eha menjelaskan Kang Emil -panggilan akrab Ridwan Kamil- biasanya datang ke warung itu setelah jumatan.
"Kang Emil pesannya pais (pepes, red), peda, dan nasi merah, bahkan suka ambil minum sendiri teh, masuk ke dapur," tutur Eha.
Eha mengungkapkan warungnya saat masih di masa kejayaannya merupakan favorit para mahasiswa di Bandung. Pasti ada mahasiswa dari kampus-kampus beken, seperti ITB, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Parahyangan yang demen jajan di Warung Nasi Bu Eha.
"Tahun 1969-1986 banyak mahasiswa datang ke sini. Ibu kesal juga kadang lihat mereka yang kuliah enggak selesai-selesai. Makanya ibu memarahi, kasih tahu supaya cepat lulus," ucapnya.
Eha menganggap pelanggan yang datang ke warungnya bukan sekadar pembeli. Oleh karena itu, dia juga kerap menyampaikan wejangan kepada para pelangganya.
"Sekarang masih sering ada yang ke sini. Eh, sudah ada yang jadi hakim, menteri, anggota DPR," ungkapnya.
Di tengah modernisasi, Eha menyadari saat ini banyak orang lebih memilih makan di restoran modern. Warung Nasi Bu Eha pun tak seramai dahulu.
Pegawai yang bekerja di Warung Bu Eha terus berkurang. Dari tujuh pegawai, kini tersisa tiga orang saja.
"Dibanding dahulu, sepi sekarang, Neng. Sekarang paling seperempatnya saja, ya alhamdulillah masih bisa makan," tandasnya.
Walakin, kehadiran Warung Nasi Bu Eha menjadi tanda bahwa Indonesia memiliki kekayaan kuliner bercita rasa. Sejarawan kuliner Unpad Fadly Rachman menilai predikat Warung Nasi Bu Eha sebahai tempat makan favorit keluarga Bung Karno merupakan hal wajar.
Memang Bung Karno pernah tinggal di Bandung pada era 1920-an dan menikahi salah satu mojang Priangan, Inggit Garnasih. Oleh karena itu, Bung Karno akrab dengan berbagai macam pepes, lalapan, dan sambal.
"Tentu saja beliau selama tinggal di Bandung mencicipi dan menikmati beraneka masakan Sunda," kata Fadly kepada JPNN.com, Jumat (31/12).
Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unpad itu mengatakan ada jejak Bu Inggit dalam kisah Warung Nasi Bu Eha.
"Apa yang mengangkat nama Warung Nasi Bu Eha ialah Ibu Inggit pernah memesankan masakan untuk Bung Karno," sambungnya
Fadly pun menganggap keterkaitan Warung Nasi Bu Eha dengan Bung Karno menjadi daya tarik tersendiri. "Menjadi menarik ketika menghubungkan selera Bung Karno dengan kuliner Sunda yang ada di warung nasi ini," ulasnya. (jpnn)
Redaktur : Boy
Reporter : Nur Fidhiah Sabrina