Waspada, Kamuflase Informasi LSM Asing terkait Karhutla di Papua

Rabu, 18 November 2020 – 12:38 WIB
Ilustrasi pemadaman karhutla via udara. Foto: sumeks.co.id

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Komunikasi Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru, Afni Zukifli mempertanyakan sejumlah artikel dan tayangan yang dibuat media massa nasional dengan tema ''Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit'' baru-baru ini.

Artikel dan pemberitaan yang dibuat berdasarkan video dari LSM Greenpeace pada 2013 itu, menurut Afni, penuh dengan kamuflase informasi.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Anies Baswedan Dicecar Puluhan Pertanyaan, Perintah Terbaru Kapolri, Jangan Berani Gelar Aksi Reuni 212!

Video yang diambil tujuh tahun lalu tersebut dianggap tidak bisa dijadikan dasar sebagai laporan investigasi untuk kondisi saat ini di mana keadaan di lokasi itu sudah berbeda.

Dia menyebut penayangan informasi dari kejadian yang sudah lampau dengan narasi dan gambar yang sengaja dibuat untuk menguras pikiran masyarakat itu sama dengan kamuflase informasi.

BACA JUGA: KLHK: Mengapa Greenpeace Baru Sekarang Mengekspos Video Karhutla Tahun 2013?

"Laporan ini sarat dengan kamuflase informasi. Perspektif tersajikan sesuai sudut pandang media alias framing diduga kuat sedang terjadi. Framing tidak berbohong. Namun terjadi pembelokan fakta secara cerdik, dan berpotensi menyesatkan. Analisis framing biasanya dilakukan melalui seleksi informasi, penonjolan pada aspek tertentu, pemilihan gambar khusus, hingga meniadakan atau membuang informasi yang seharusnya disampaikan," tegas Afni.

Afni juga menyayangkan laporan dalam balutan 'kasta tertinggi jurnalistik' yang digulirkan tentang kebakaran lahan di Papua, tidak menyebutkan secara eksplisit kapan kebakaran lahan itu terjadi, dan kapan izin yang menyebabkan kerusakan hutan di kawasan itu dikeluarkan.

BACA JUGA: Dirjen Gakkum KLHK Minta Kejujuran Greenpeace soal Video Karhutla di Papua

"Informasi sepenting itu bahkan tidak dicantumkan sampai ke paragraf 15 dari bagian tulisan pertama! Bagi yang tidak jeli, berpotensi besar menelan informasi tersebut bulat-bulat sebagai waktu terjadinya kebakaran. Seolah-olah bahwa kejadian itu benar adanya baru atau sedang terjadi. Tidak disebutkan, kapan waktu pembakaran dimaksud? tahun berapa? dan kapan perusahaan berbau asing itu menjejakkan kaki dengan segala aktivitasnya di sana?" tidak ada! Di sinilah kamuflase informasi dalam bentuk framing diduga disusun sedemikian rupa. Karena tidak ada satu kalimat pun pada bagian pertama tulisan menyebutkan bahwa seluruh investigasi dimaksud, ternyata merupakan kejadian tahun 2013, serta akibat dari keluarnya izin dari tahun 2009. Bukan di pemerintahan Presiden saat ini yang baru memulai periode kepemimpinannya di akhir tahun 2014," papar Afni.

Dia juga menyesalkan karena informasi itu juga meniadakan atau membuang informasi tentang upaya pemerintah yang sudah mengeluarkan kebijakan moratorium izin sejak bergantinya pemerintahan.

Selain itu meniadakan informasi bahwa kebakaran hutan dan lahan di lokasi tersebut, mengalami penurunan drastis bahkan hingga 90 % pasca-kejadian tahun 2015.

Afni mengingatkan bahwa Indonesia mengalami karhutla tidak terlepas dari imbas kebijakan yang lalu-lalu. Di masa transisi pemerintahan saja masih terjadi pelepasan izin hutan, yang ambil bagian sebagai penyebab terjadinya karhutla besar tahun 2015.

Barulah setelah dilakukan langkah koreksi baik kebijakan maupun kerja lapangan, sejak 2016 karhutla perlahan bisa diatasi.

Meski tidak langsung drastis, tetapi perlahan namun pasti Indonesia menemukan skema yang tepat menangani karhutla dengan mengubah pola kerja dari pemadaman ke pencegahan.

"Terbukti di 2020, Indonesia bebas bencana asap di tengah tekanan pandemi corona melanda dunia. Tidak semua negara yang masih memiliki hutan, bisa melewati 'fase mematikan pertemuan dua bencana' ini. Sayangnya informasi tersebut terhilangkan," tegasnya lagi.

Afni yang concern juga terhadap sektor lingkungan tanah air mengatakan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir, Indonesia melakukan perubahan radikal dalam tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan.

Terlepas dari banyaknya tekanan, sambungnya, kebijakan pemerintah sedang berjalan pada jalurnya, dengan melindungi lebih banyak kawasan hutan dan berhenti melepaskannya seperti yang sudah-sudah.

"Menjadi sangat disayangkan, bila terjadi kamuflase informasi dengan meniadakan langkah koreksi dan capaian dari ikhtiar yang sangat tidak mudah ini. Informasi yang sebenarnya sudah terang benderang, sangat disayangkan digiring ke ranah abu-abu," lanjutnya.

Afni berharap keberadaan NGO, pers, dan kelompok masyarakat lainnya menjadi pilar penting demokrasi. Wajib ada tetapi harus disertai rasa tanggung jawab yang besar.

Dia berharap ada pemberitaan yang adil dan cover both side disesuaikan dengan kondisi nyata saat ini sehingga tidak memakai data lama dan membuatnya seolah terkesan sedang terjadi di masa kini sehingga mengaduk perasaan masyarakat sebagai penonton dan pembaca.

"Negara telah memberikan hak merdeka untuk sebebasnya menyuarakan fakta dan kritik. Namun perlu diingat, bahwa pilar demokrasi yang dibutuhkan bangsa sebesar Indonesia, yang belum sampai seabad merdeka, bukan berdiri di ranah kebebasan yang absolut. Dibutuhkan kebebasan yang bertanggung jawab. Batas dari kebebasan adalah tanggung jawab itu sendiri. Selagi masih berkiblat pada prinsip itu, maka kebebasan tidak diartikan sebagai bebas memilintir, bebas menggiring opini, bebas ngeles, bebas mengeluarkan narasi, apalagi bebas mempermalukan tanah air-nya sendiri," pungkas Afni. (jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler