jpnn.com, JAKARTA - Pakar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Profesor Budi Haryanto menuturkan berbagai penyakit akibat polusi udara bisa meningkatkan angka kematian bagi penderita corona.
“Polusi udara menyebabkan gangguan-gangguan penyakit kronis. Itulah yang kemudian menjadi komorbiditas. Komorbiditas ini menyebabkan keparahan penderita COVID-19," jelas Budi dalam seminar secara online, Kamis (2/7).
BACA JUGA: Korelasi Polusi Udara dan Penyebaran Corona, Pak Anies, Tolong Dibaca
Untuk mengurangi polusi, Budi menyarankan agar pemerintah bisa memperbaiki kualitas udara. Salah satunya dengan memperbaiki kualitas bahan bakar minyak (BBM), kualitas mesin, kepadatan lalu lintas, dan lainnya.
“Jika kita estimasi, dengan penggantian BBM standar Euro-4 pada 2017 dan diterapkan pada 2018 sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehatan (KLHK), maka perbaikan kualitas udara, termasuk penurunan PM 2,5 akan signifikan hingga 2050 mendatang,” tutur Budi.
BACA JUGA: New Normal Harus Dibarengi dengan BBM RON Tinggi yang Ramah Lingkungan
Succes story di Hong Kong dan Singapura, kata Budi, seharusnya bisa menjadi contoh. Perbaikan kualitas bahan bakar di negara tersebut, imbuhnya, ternyata memberikan benefit yang luar biasa terhadap kesehatan.
“Jadi, banyak penyakit-penyakit terkait pencemaran udara turun dengan drastis ketika kualitas bahan bakar diperbaiki,” seru Budi.
BACA JUGA: Cara Risma Kurangi Polusi Udara di Surabaya
Sementara terkait hubungan antara polusi udara dan tingkat kematian penderita Corona, sudah banyak dilakukan penelitian.
Penelitian di Harvard, misalnya, mengungkapkan bahwa pasien COVID-19 di wilayah tinggi polusi memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan di wilayah rendah polusi.
"Beberapa penelitian terbaru, menemukan bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi mempunyai risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi meninggal akibat COVID-19 dibandingkan yang tinggal di wilayah polusi udara rendah. Itu temuan dari Harvard yang mencakup 98 persen populasi di Amerika Serikat," kata Budi.
Penelitian serupa, juga dilakukan di Eropa, termasuk Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman.
Di mana European Public Health Alliance menyatakan polusi udara mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah Corona.
Itulah sebanya, World Health Organization (WHO) mengimbau agar setiap negara memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian COVID-19.
“WHO menyebutkan, negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam persiapan pengendalian COVID-19,” papar Budi.
Berdasarkan penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, lanjutnya, polusi udara sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Hasil penelitian FKM UI menyebutkan, partikel udara PM 2,5 menyebabkan fungsi paru-paru tidak normal kepada 21 persen warga Tangerang dan 24 persen warga Makassar.
“Dan harus diingat, ketika fungsi paru-paru sudah terganggu, maka tidak pernah bisa menjadi normal kembali. Tidak pernah bisa sembuh seratus persen,” tandasnya.(chi/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Yessy