jpnn.com - JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, kenaikan tarif listrik otomatis akan menambah biaya produksi sehingga, akan mempengaruhi daya saing produk dalam negeri. Dampaknya, tekanan produk impor akan semakin tinggi.
”Produk kita terhadap barang impor akan turun. Kita akan semakin kuat mendapatkan penetrasi produk impor,” kata Enny kepada Rakyat Merdeka (JPNN Grup).
BACA JUGA: Gandeng BRI, Terapkan Pajak Online Mulai Februari
Dia menilai, potensi produk impor masuk Indonesia pada tahun ini cukup terbuka. Pasalnya, China akan semakin gencar berupaya masuk ke dalam negeri sebagai bentuk pengalihan melemahnya pasar di Eropa dan Amerika ke Asia Tenggara.
"Tujuan ekspor China ke Amerika dan Eropa masih mengalami perlambatan pertumbuhan, mereka pasti akan melakukan strategi perdagangan yang lebih masif ke Indonesia," ujarnya.
BACA JUGA: Investasi Buka 9 Juta Lapangan Kerja
Enny mengatakan jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pangsa pasar yang cukup menjanjikan bagi negara-negara industri yang ingin menjaga momentum pertumbuhan ekonominya.
Enny meminta, pemerintah melakukan langkah antisipasi dampak kenaikan tarif listrik. “Memang semestinya subsidi industri besar dicabut. Sekarang itu yang perlu dipikirkan bagaimana mengantisipasi dampaknya,” jelasnya.
BACA JUGA: Dorong Pemerataan Kawasan Industri
Enny berharap, daya beli masyarakat tidak terganggu dengan kenaikan TDL untuk industri. Karena, bila daya beli masyarakat terganggu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform, Febby Tumiwa menyatakan mendukung kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik untuk industri besar. “Subsidi untuk perusahaan besar memang harus dicabut masa mau disubsidi terus,” katanya.
Dia menyarankan, pengusaha menggunakan teknologi lain yang lebih hemat sehingga kenaikan TDL tidak sampai menggangu kinerja perusahaan.
Febby meminta, pemerintah segera menyampaikan dengan jelas waktu dan mekanisme kenaikan TDL. Karena, pengusaha memerlukan kejelasan agar bisa mengatur kinerja perusahaan.
Pengamat BUMN Said Didu juga mendukung kebijakan pemerintah. Dia menjelaskan, prinsip subsidi itu untuk kepentingan publik bukan kepentingan perusahaan atau korporasi. “Tidak tepat subsidi dinikmati perusahaan besar,” cetusnya.
Soal ada penolakan, dia menilai hal yang wajar. Dia meminta, pemerintah terus memperbaiki mekanisme subsidi agar lebih berpihak pada masyarakat. (DIR)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN tak Layani Sambungan Baru di Empat Kabupaten
Redaktur : Tim Redaksi