jpnn.com, JAKARTA - Mantan Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Suhardi Alius mengatakan, ada empat indikator yang perlu diwaspadai untuk mencegah berkembangnya radikalisme di Tanah Air.
Keempat indikator dimaksud yakni, intoleransi, anti-Pancasila, anti-NKRI dan penyebaran paham takfiri atau mengkafirkan orang.
BACA JUGA: Berita Duka: Neta S Pane Meninggal Dunia
"Ini yang terjadi sekarang. Radikalisme dalam perspektif negatif yang sudah sering saya sampaikan saat menjabat sebagai kepala BNPT. Ada empat indikatornya, yaitu intoleransi, anti Pancasila, anti NKRI dan penyebaran paham takfiri (mengkafirkan orang)," ujar Suhardi dalam keterangannya, Rabu (16/6).
Menurut Suhardi, ada dua langkah yang perlu dilakukan untuk menekan radikalisme.
BACA JUGA: Hebat, Polri di Masa Kepemimpinan Jenderal Listyo Berhasil Sita 5 Ton Sabu-sabu
Yakni, penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan.
Kedua hal ini penting untuk mengikis maraknya adu domba dan hoaks, demi terciptanya kehidupan kebangsaan yang harmonis serta demokrasi yang santun di Indonesia.
BACA JUGA: Persentase Kepuasan Pada Kinerja Jokowi Sangat Tinggi, Pertanda Apa ya?
Menurut dia, bila nasionalisme dan wawasan kebangsaan kembali seperti dulu, otomatis radikalisme berkonotasi negatif serta terorisme akan terkikis.
"Kalau masuk klasifikasi ini harus dikikis, direduksi dan hilangkan. Mari sosialisasikan pada anak anak, pada generasi muda khususnya agar tidak mudah terpapar paham itu, bagaimana kita harus menguatkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan,” ucapnya.
Suhardi mencontohkan implementasi penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan dengan kembali mengadakan upacara bendara setiap hari Senin, dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan naskah Pancasila.
"Ini salah satu yang membuat karakter bangsa dengan baik, kalau tidak dilakukan itu akan hilang."
"Sekarang generasi muda banyak yang tidak hafal Pancasila, lagu Indonesia Raya, itu tidak bisa disalahkan. Karena kurikulumnya sudah seperti itu."
"Nah, sekarang diubah kembali, dimulai dari sekarang sehingga bisa melihat hasilnya nanti 5-10 tahun mendatang," kata dia.
Suhardi mengungkapkan, generasi muda saat ini menjadi sasaran empuk penyebaran paham-paham tersebut, selain masyarakat umum lainnya.
Faktanya, media sosial dipenuhi dengan berbagai macam hoaks dan adu domba.
Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal intoleran untuk memecah belah masyarakat.
Dia menilai, saat ini budaya saring sebelum sharing generasi muda dan masyarakat sangat rendah.
Banyak yang ‘menelan’ begitu saja berbagai informasi karena tidak punya kemampuan memverifikasi dan memfilter pesan-pesan yang masuk.
Hal ini dipengaruhi salah satunya adalah tingkat pendidikan masyarakat.
“Kalau yang sudah berpendidikan cukup intelektual kan akan berpikir saat menerima informasi benar atau tidak."
"Tetapi untuk yang golongan menengah ke bawah termasuk yang tidak punya pemahaman itu, hal itu akan dianggap menjadi suatu kebenaran."
"Ini yang berbahaya, mereka bisa menyebarkan kembali informasi yang diterima yang padahal belum tentu kebenarannya, bisa saja itu berisikan hal terkait radikal terorisme. Ini yang harus kita jaga,” pungkas Suhardi.(Antara/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang