jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Pengamat hukum Gabriel Mahal mengatakan, ada agenda global dan pertarungan besar di balik kampanye menaikkan harga rokok di Indonesia. Menurutnya, pertarungan itu berupa motif dagang industri farmasi yang hendak direalisasikan.
Motif dagang industri yang dimaksud adalah penggunaan produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) bikinan Amerika Serikat. Makanya kata dia, salah kaprah bila harga rokok Indonesia yang lebih murah lantas dibandingkan dengan negara lain.
BACA JUGA: Mandiri Sukses Salurkan KPR Rp 32,2 Triliun
“Salah kaprah jika kemudian harga rokok Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap tembakau apalagi negara itu juga tidak punya petani tembakau,” kata Gabriel saat dihubungi media, Senin (29/8).
Gabriel mengaku heran dengan kampanye rokok yang dianggap mematikan. Padahal, negara-negara yang tidak punya kepentingan tembakau justru memberikan fasilitas bagi perokok.
BACA JUGA: Lepas 15 Persen Saham Siloam, Lippo Kantongi Rp 2,2 Triliun
Sebut saja di Singapura yang memberikan warganya fasilitas merokok. Sementara di Jepang, stasiun dan keretanya ada gerbong khusus untuk perokok.
Orang boleh merokok dan disiapkan khusus tempat nyaman sampai korek apinya. Sementara di Indonesia, industri hasil tembakau dipojokkan.
BACA JUGA: Bank Syariah Diminta Lebih Agresif Pasarkan Sukuk
"Kampanye negatif terhadap tembakau ini semata kepentingan bisnis nikotin sintesis dengan dukungan perusahaan farmasi," tandasnya.
Gabriel mengatakan, tudingan tembakau benar-benar menyebabkan kematian sangat tendensius. Faktanya, justru nenek moyang Indonesia yang juga menikmati tembakau sejak lama memiliki umur panjang.
"Di situ saya kira kita harus sangat kritis terhadap klaim seperti itu," tegasnya.
Menurut dia, kalau memang lembaga donor semacam Bloomberg Initiative mau membantu sektor kesehatan, semestinya yang dikedepankan itu promo fasilitas kesehatan publik dan sanitasi bukan kemudian habis-habisan memkampampanyekan sisi negatif tembakau.
"Di setiap negara yang kampanye anti tembakau berhasil, maka penjualan produk nikotin replacement itu selalu tinggi," tandasnya.
Ia mewanti-wanti, dalam regulasi FCTC ada poin berbahaya lain yakni keharusan pemerintah untuk menggunakan produk nikotin sintesis untuk terapi terapi. Ujungnya, negara mendapat beban tambahan impor. Padahal, dana itu dari APBN bersumber dari pajak.
Jika sampai lolos, maka sama saja perang dagang ini didukung lembaga internasional, dilakukan lembaga internasional, dan dibayai negara. "Kalau pabrik produk NRT itu di sini, mungkin masih menyerap tenaga kerja, ini kan jika FCTC diratifikasi berlaku dipaksa impor, negara pemerintah berubah menjadi importir," tandasnya.
Gabriel juga mewanti-wanti, niatan pemerintah untuk mengkampanyekan dampak negatif tembakau di sekolah-sekolah sebagai bagian dari strategi untuk menjaring konsumen nikotin replacement dalam jangka panjang.
"Target market NRT ini memang generasi guna muda. Generasi akan datang karena itu proses marketing dilakukan dari sekarang," tegasnya.
Sementara dorongan kelompok anti tembakau supaya harga rokok mencapai Rp50-RP100 ribu patut dicurigai agar harga rokok memang bisa mendekati produk NRT yang saat ini beredar di pasar di kisaran harga Rp58 ribu sehingga produk itu bisa kompetitif dengan harga rokok.
Dalam Pasal 6 FCTC, terang Gabriel, ditetapkan menaikan harga dan cukai pasti berdampak terhadap kurangnya permintaan tembakau hingga harga rokok jadi mahal dan orang tidak lagi mudah membeli rokok. Keadaan ini memaksa orang berhenti merokok. Dengan berhenti merokok, orang akan merasa menjadi sehat.
Asumsi tersebut di atas ternyata diragukan kemurnian tujuannya oleh Gabriel. Kata dia, kepentingan utama tetap memenangkan persaingan harga antara produk-produk tembakau dengan produk-produk obat-obat pengganti nikotin dari korporasi-korporasi farmasi internasional yang sama-sama jualan nikotin.
"Ini praktek tirani kesehatan publik, orang kritis dihajar habis habisan," tegasnya.
Bahkan menurut llaporan World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025, ada prediksi 15 tahun ke depan pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT ini akan meningkat yang dikontribusi oleh kelompok negara Brazil, Rusia, India, Cina, dan Indonesia.
Hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini, tetapi kelompok negara ini termasuk berpendapatan perkapita rendah hingga daya beli terhadap obat-obat NRT yang relatif mahal itu saat ini masih rendah.
Kepentingan di balik strategi peningkatan harga dan pajak cukai, diimbangi dengan produk NRT, tidak lain daripada kepentingan dagang.
"Apakah kita mau utamakan kepentingan nasional di bidang tembakau, khususnya kretek yang merupakan rokok khas Indonesia, atau kepentingan korporasi-korporasi farmasi internasional yang sejak awal mendanai proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan segala agenda kampanye anti tembakaunya itu," tandasnya. (jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Pesimistis Selesaikan Proyek 35 Mw Tepat Waktu
Redaktur : Tim Redaksi