JAKARTA - Penurunan peringkat utang Amerika Serikat (AS) dan Jepang harus disikapi hati-hati karena bisa menyebabkan risiko valuta asing (valas) di pasarMenkeu Agus Martowardojo meminta perusahaan lebih waspada dalam mencari pendanaan dari pasar ataupun utang dalam bentuk valas
BACA JUGA: Tiket Argo Anggrek Masih 80 Persen
"Kita mengimbau perusahaan Indonesia baik BUMN maupun non-BUMN untuk menjaga pengelolaan utangnya," kata Agus setelah rapat koordinasi di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (25/8).
Agus mengatakan, pinjaman dalam valas akan memiliki risiko nilai tukar
BACA JUGA: Jumlah Penerima Raskin Masih Tinggi
Namun Agus mengingatkan, jika perusahaan tidak memiliki sumber pendapatan dalam mata uang dolar, sebaiknya menghindari untuk meraup pendanaan dengan dolar"Kalau tidak ada mekanisme yang baik, tentu kita sarankan tidak dilakukan karena secara individu membahayakan, secara nasional pun membahayakan," kata Agus.
Mantan Dirut Bank Mandiri itu menambahkan, meski pasar keuangan global masih bergejolak, pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga masih tumbuh hingga 6,5 persen
BACA JUGA: Lebaran, Beban Listrik Turun Drastis
"Negara-negara maju terus melakukan koreksi pertumbuhan ekonomi ke bawahKita dalam kondisi yang lebih baik," kata Agus.Lembaga pemeringkat utang internasional, Moody"s Investors Service, menurunkan peringkat kredit Jepang satu tingkat dari AA2 menjadi AA3Masalah utang yang ditimbun sejak 2009 dan kepemimpinan politik telah menghambat strategi ekonomi yang efektif
Hampir semua negara ekonomi maju di dunia saat ini tengah bergelut dengan masalah utangAwal Agustus ini, Amerika Serikat kehilangan top-tier rating AAA dari Standard & Poor"sMoody juga mengingatkan Italia dan beberapa negara di Eropa lainnya tentang kemungkinan rating utangnya turun.
Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Anggito Abimanyu mengatakan, pemerintah belum memiliki instrumen yang lengkap dalam menghadapi krisisRAPBN 2012 hanya terfokus untuk menstabilkan harga Surat Berharga Negara (SBN)Upaya tersebut dianggap belum cukup untuk menghadapi potensi krisis"Dibanding dengan 2008, instrumen untuk menghadapi krisis masih belum cukup," kata Anggito.
Pada 2008, pemerintah telah menyiapkan dana untuk buy back saham, penempatan dana di bank-bank BUMN, serta instrumen stimulus fiskalBank sentral juga melakukan relaksasi suku bunga"Kalau sekarang ini tak ada langkah komprehensif untuk hadapi krisis," katanya
Sebenarnya, lanjut dia, RAPBN 2012 sudah cukup kredibelNamun, masih akan diwarnai sejumlah risiko fiskal(sof/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produk Impor Banjiri Pasar Tradisional
Redaktur : Tim Redaksi