jpnn.com - JAKARTA - Webinar MIPI Mengulas Heboh Protes Keras Bupati Kepulauan Meranti.
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertema "Kasus Dana Bagi Hasil Kabupaten Meranti, Fenomena Gunung Es Kemunduran Otonomi Daerah?", Sabtu (24/12).
BACA JUGA: Sebut Kemenkeu Isinya Setan dan Iblis, Bupati Meranti Ogah Minta Maaf
Webinar MIPI edisi 24 Desember 2022 memilih tema tersebut setelah heboh Bupati Kepulauan Meranti Bupati Muhammad Adil yang dengan suara keras meluapkan kekesalannya pada pihak Kementerian Keuangan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) Migas.
Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Pengurus Pusat (PP) MIPI Trubus Rahardiansyah dalam sambutannya mengatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sudah mengatur soal pembagian keuangan, termasuk soal DBH.
BACA JUGA: Jurus Bupati Kepulauan Meranti Bertahan soal Kemenkeu Berisi Setan
Dalam kasus Kepulauan Meranti, kepala daerah memiliki asumsinya sendiri terkait pembagian hasil sehingga terjadi konflik.
"Apa yang terjadi di Kabupaten Meranti adalah potret di mana kemudian pengelolaan otonomi daerah menjadi hal yang sangat krusial. Ada kontroversi di situ, karena memang pemahaman daerah masih pada tataran sebagaimana tertuang di dalam undang-undang," ulas Trubus Rahardiansyah.
BACA JUGA: Webinar MIPI Ungkap 5 Penyebab Pendaftaran Calon Anggota DPD RI Sepi Peminat
Trubus mengatakan, dalam penyusunan UU Nomor 1 Tahun 2022 terjadi pula pro-kontra di publik terkait masalah resentralisasi yang dinilai seolah pemerintah pusat mengambil alih semuanya.
Padahal menurutnya, kalau dilihat secara utuh undang-undang tersebut lebih bersifat penguatan akuntabilitas dan harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah.
UU Nomor 1 ini juga dianggap dibuat dengan partisipasi publik yang rendah, karena memang disusun pada masa pandemi Covid-19.
“Karena itulah kemudian MIPI menggelar webinar ini dengan harapan dapat memperoleh gambaran utuh terkait kasus tersebut. Selain itu juga mendapat gambaran terkait bagaimana sebenarnya hal itu terjadi, dan apakah betul otonomi di Indonesia mengalami kemunduran seiring dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 2022,” kata Trubus.
Webinar yang digelar MIPI ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu, Wakil Ketua II Pengurus Pusat MIPI/Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri masa jabatan 2015-2018 Soni Sumarsono, dan Guru Besar FISIP Universitas Hasanuddin Amin Arsyad.
Tarik-Menarik Kewenangan Pusat dan Daerah
Siti Zuhro mengatakan, ketika berbicara otonomi daerah yang harus diingat adalah Indonesia secara utuh.
Dikatakan, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan memajukan daerah.
Siti menjelaskan, dalam perkembangannya kemudian UU tersebut mengalami beberapa kali pergantian dan terjadi tarik menarik kewenangan antara pusat dan daerah.
Tarik menariknya terkait dengan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi. Dari situ dtemukan adanya ego sektoral yang diwujudkan tidak seimbangnya ke-Indonesiaan dan kedaerahan.
"Asumsinya, dengan kebijakan desentralisasi otonomi daerah, maka pola relasi pusat dan daerah ini akan lebih baik, akan lebih harmonis, dan tentunya juga memberikan satu tambahan nilai-nilai, trust, atau kepercayaan daerah kepada pusat," terangnya.
Soni Sumarsono mengungkapkan, semangat dari otonomi daerah adalah desentralisasi dan demokratisasi.
Ujung dari semangat tersebut yaitu menyejahterakan rakyat Indonesia serta pemanfaatan potensi daerah dan lokal yang ada.
Penjelasan pada kasus Kepulauan Meranti, hal yang dia soroti terkait hubungan keuangan pusat dan daerah, khususnya terkait Transfer Pusat-Daerah (TPD) dan Transfer Antar Daerah (TAD).
"Mekanismenya sebenarnya sudah bagus, strukturnya juga sudah oke ya di dalam konteks secara konsepsi. Bagaimana membangun hubungan keuangan pusat dan daerah itu yang refleksi dari pola-pola yang dilaksanakan melalui pola-pola transfer pusat dan daerah, ya, tidak ngomong jumlah dulu," terang Soni.
Dikatakan, dari segi pendapatan TPD dan TAD muncul dana perimbangan yang di dalamnya termasuk Dana Bagi Hasil (DBH) terkait sumber daya alam.
Dari dana itu, Kabupaten Kepulauan Meranti merasa "terzolimi" karena DBH Migas yang diterima sedikit, sehingga terjadi protes.
"Isunya sebenarnya ini adalah proses transparansi," tegasnya.
Guru Besar FISIP Universitas Hasanuddin Amin Arsyad menambahkan, penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah diperlukan sebagai upaya gotong royong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ditetapkan.
Meski begitu, jumlah program dan kegiatan di daerah tergolong sangat banyak tetapi alokasi dananya kecil.
Untuk itu pemerintah pusat juga harus memberikan transparansinya terkait keuangan, agar program daerah berjalan kemudian lebih berkembang.
"Kalau daerah itu maju dan berkembang, itu sebenarnya yang beruntung adalah pemerintah pusat sendiri. Karena kalau seluruh kabupaten/kota di Indonesia maju, maka seluruh provinsi otomatis akan maju. Dan kalau seluruh provinsi dan kabupaten/kota maju, berarti Indonesia secara keseluruhan maju," tuturnya. (sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu