jpnn.com - Wewey Wita seolah mengakhiri paradigma yang berkembang selama ini bahwa pencak silat hanya milik orang pribumi. Wewey menjadi penegas bahwa pencak silat adalah milik semua.
Wewey juga merobohkan tembok tebal bahwa warga keturunan Tionghoa hanya mau bersentuhan dengan olahraga bulu tangkis, basket, tenis, atau wushu.
BACA JUGA: Ayahnya Tukang Tambal Ban, Bonus tak Hanya Rp 1,5 Miliar
Wewey meruntuhkan semua stigma itu dengan sempurna. Dia persembahkan sekeping medali emas Asian Games 2018 dari arena pencak silat untuk Indonesia. Negara yang dicintainya.
Ya, Wewey merupakan keturunan Tionghoa. Darah Tionghoa itu mengalir dari sang ayah Yeo Meng Tong. Ayahnya dulu berpaspor Singapura. Statusnya kemudian berubah menjadi WNI setelah menikahi perempuan Ciamis bernama Ani Rohimah yang tak lain adalah ibu Wewey.
BACA JUGA: Timnas Silat Turunkan Pendekar Muda di Kejuaraan Dunia 2018
Wewey adalah anak sulung enam bersaudara. Awalnya, dia hidup berkecukupan sebelum akhirnya jatuh miskin ketika bisnis sang ayah bangkrut. Sempat hidup mapan di Singapura, kehidupannya berubah drastis setelah orang tuanya memutuskan tinggal di kampung halaman ibunya di Ciamis.
Di sana, Wewey kecil yang perempuan dan Tionghoa mau tidak mau beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Di tempat barunya itu, kebanyakan temannya adalah laki-laki.
BACA JUGA: Jika Aji Bangkit Bisa, Pemuda Lainnya juga Mampu Berprestasi
Perempuan kelahiran 13 Februari 1993 tersebut menghabiskan banyak waktunya untuk bermain gundu, kartu, dan sepak bola. ”Sering menang, kartunya aku jual dan uangnya dikasih ke Mama,’’ kenangnya.
Melihat pergaulan Wewey yang lebih sering dengan anak laki-laki, sang mama sering takut anaknya kehilangan sisi feminin. Wewey pun didaftarkan lomba peragaan busana. Di sebuah kejuaraan, dia berhasil menyabet peringkat kedua.
Namun, Wewey tidak nyaman dengan itu semua. Dia memutuskan tetap mengikuti kegiatan luar sekolah yang ”laki-laki”. Wewey menyadari lebih tertarik pada olahraga, bukan berlenggak-lenggok di karpet merah.
Dari situlah dia bertemu pencak silat. Ya, pencak silat. Olahraga yang selama ini lebih lekat dengan orang pribumi. Pertemuan itu tidak disengaja dan ada unsur paksaan. ”Aku tiba-tiba didaftarkan ikut kejuaraan pencak silat sama guru waktu kelas IV SD. Lawannya anak SMP, besar-besar. Aku bingung, tapi mau bagaimana lagi. Harus siap,’’ katanya.
Latihan kilat dilakukan. Hanya dua hari. Ajaibnya, Wewey berhasil menyabet predikat juara terbaik saat itu. Dari situlah, pencak silat kemudian menjadi penolongnya.
Kehidupannya berubah perlahan-lahan. Prestasi demi prestasi didekapnya. Mulai kejuaraan dunia di Phuket, Thailand pada 2015 hingga yang terakhir merebut medali emas Asian Games 2018.
Namanya pun melambung. Ekonominya berubah setelah mendapat bonus Rp 1,5 miliar. Tawaran interview hingga jadi bintang iklan berdatangan. ”Ya, bersyukur sekarang bisa bantu adik untuk sekolah. Juga bisa bikin usaha kafe untuk masa depan,’’ paparnya.
Uniknya, kafe yang sedang dirancangnya tidak lepas dari bau pencak silat. Wewey menerangkan, akan ada unsur bela diri Nusantara itu di dalamnya. Baik dari segi pernik-pernik maupun hiburan yang ditampilkan. ’’Ingin lebih banyak lagi yang mencintai pencak silat,’’ ungkapnya.
Wewey sangat berhasrat pencak silat bisa dinikmati dan dimainkan oleh semua orang. Tidak hanya dikenal dan dimainkan orang-orang Indonesia dan kawasan sekitarnya.
’’Saya ingin pencak silat masuk Olimpiade biar dunia tahu seni bela diri asal Indonesia tidak kalah keren dengan yang lain,’’ harapnya. (rid/c6/fim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakil Ketua MPR Dukung Jawara Betawi Melestarikan Silat
Redaktur & Reporter : Soetomo