Wiranto Melampaui Wewenang Sebagai Menteri dan Wanbin Hanura

Rabu, 11 Juli 2018 – 06:05 WIB
Menkopolhukam Wiranto di Jakarta, Jumat (12/5). Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Surat Wiranto No. : 001/Dewan Pembina/HNR/VII/2018, tanggal 5 Juli 2018 yang ditujukan kepada Dr. Oesman Sapta, Ketua Umum DPP Partai Hanura, secara kasat mata telah membuka tabir praktik penyalahgunaan wewenang Eksekutif yang dilarang oleh UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Adminsitrasi Pemerintahan.

Dalam UU Administrasi Pemerintahan persoalan penyalahgunaan wewenang dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu “melampaui wewenang", “mencampuradukan wewenang" dan bertindak “sewenang-wenang.”

BACA JUGA: KPU Bantah Diintervensi Wiranto Soal Kepengurusan Hanura

“Wiranto selaku Menko Polhukam dan Ketua Dewan Pembina Partai berada dalam zona larangan penyalahgunaan wewenang dengan 3 (tiga) kategori ini,” kata Wakil Sekjen Bidang Hukum DPP Partai Hanura dan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus dalam keterangan persnya, Selasa (10/7).

Menurut Selestinus, Wiranto bertindak "melampaui wewenang”, karena Wiranto telah mengundang Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta membangun kesepakatan atas perkara yang sedang berjalan, dimana Wiranto memiliki konflik kepentingan atas perkara di PTUN Jakarta.

BACA JUGA: KPU: Tak Ada Intervensi Menko Polhukam dalam Masalah Hanura

“Itu berarti Wiranto telah bertindak melampaui batas wewenangnya sebagai Menko Polhukam dengan melanggar UU,” tegas Selestinus.

Lebih lanjut, Selestinus mengatakan Wiranto bertindak "mencampuradukan wewenang", sebagai Menko Polhukam dengan Ketua Dewan Pembina Partai, yang sesungguhnya berada di luar cakupan bidang tugas dan wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. 

BACA JUGA: Bertemu Wiranto, KPU Pertanyakan Pengurus Hanura yang Sah

Sedangkan Wiranto bertindak "sewenang-wenang" karena sebagai Menko Polhukam Wiranto bertindak tanpa dasar kewenangan dan bertentangan dengan "Putusan Sela" PTUN Jakarta, membangun kesepakatan dengan pihak Menkumham, Mahkamah Agung, Ketua PTUN Jakarta, dan KPU untuk kembali kepada Kepengurusan Partai Hanura berdasarkan SK. Menkumham No. : M.HH-22.AH.11.01, Tahun 2017, Tanggal 12 Oktober 2017.

“Padahal SK. Menkumham dimaksud telah dibatalkan dan menjadi bagian di dalam Objek Sengketa di PTUN Jakarta sekaligus melanggar ketentuan pasal 184 UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu,” kata Selestinus.

Noda Hitam Kabinet Kerja

Menurut Selestinus, sikap Wiranto mengingatkan publik pada nostalgia kekuasaan orde baru yang doyan intervensi kekuasaan Badan Peradilan dan Partai Politik. Ini sangat memalukan dan membuat "noda hitam” dalam pemerintahan Jokowi, karena Rakortas Menko Polhukam itu sendiri, telah "menyandera" kekuasaan Mahkamah Agung yang merdeka, untuk kembali kepada SK. Menkumham No. : M.HH-22.AH.11.01, Tanggal 12 Oktober 2017 yang masih menjadi Objek Sengketa.

“Ini jelas melanggar Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka yang mengancam dengan pidana segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman,” katanya.

Menurut Selestinus, Rakortas Menko Polhukam dengan tema utama "menindaklanjuti Putusan PTUN Jakarta No. 24/G/2018/PTUN-JKT, Tanggal 26 Juni 2018, yang belum berkuatan hukum tetap" dengan melibatkan Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta, merupakan perbuatan melanggar prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 UUD 1945 dan larangan pasal 3 UU No. : 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam jabatan Wiranto, terlebih-lebih telah menyandera kebebasan hakim dalam memutus perkara Perselisihan Partai Hanura No. : 24/G/2018/PTUN-JKT yang saat ini dalam proses banding.

Wiranto Beritikad Tidak Baik

Selestinus juga mengatakan sikap Wiranto menindaklanjuti putusan perkara No. : 24/G/2018/PTUN-JKT, Tanggal 26 Juni 2018, untuk kembali kepada SK. Menkumham No. : M.HH-22.AH.11.01, Tahun 2017, tanggal 12 Oktober 2017, yang sudah dibatalkan, mengandung "Itikad Tidak Baik”. Pasalnya, Wiranto tahu bahwa putusan perkara belum berkekuatan hukum tetap karena banding.

“Karena itu seandainya Wiranto punya opsi penyelesaian lain, seharusnya Wiranto membicarakan niatnya itu dengan Dr. Oesman Sapta dan Herry Lontung Siregar sebagai yang berhak bertindak mewakili Partai Hanura,” katanya.

Menurutnya, jabatan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura telah menimbulkan "konflik kepentingan" bagi Wiranto, sehingga pertemuan Wiranto dengan pihak Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta menjadi pertemuan yang bersifat "terlarang" terlebih-lebih karena dilarang oleh UU.

Wiranto dikesankan seolah-olah bertindak sebagai pembina teknis bagi Badan Peradilan, padahal pembinaan teknis bagi Peradilan, sepenuhnya menjadi milik Mahkamah Agung. Itu-pun dengan syarat tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Langkah Wiranto, menurut Selestinus, tidak memiliki dasar hukum dan menjadi kontraproduktif, karena proses perkara yang sedang berjalan tidak menghambat kepemimpinan Oesman Sapta - Herry Lontung Siregar di Partai Hanura, untuk mendaftarkan para caleg di KPU, karena pasal 184 UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu, cukup memberikan jaminan kepastian hukum bagi Ketua Umum OESMAN SAPTA dan Sekjen HERRY LONTUNG SIREGAR untuk menandatangani Administrasi Caleg ketika perselisihan Partai Politik belum terselesaikan.

“Inilah "noda hitam" yang dibuat Wiranto dalam kabinet kerja Presiden Jokowi demi Wiranto, Daryatmo dan Sarifuddin Sudding,” katanya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Putusan Majelis Hakim PTUN Soal Gugatan Daryatmo Cs Janggal


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler