Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'

Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri

Senin, 10 Februari 2014 – 00:01 WIB
Roisyah (berdiri), salah satu pengasuh di Wisma Tuna Ganda (WTG) Palsigunung, Cimanggis, Jakarta Timur, bersama Markus Manulang yang menjadi salah satu penghuni panti asuhan tersebut. Foto: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

jpnn.com - Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat. Namun, 31 anak asuh penghuni Panti Wisma Tuna Ganda (WTG) di Jalan Raya Bogor, Palsigunung, Depok, Jawa Barat menyandang lebih dari dua jenis cacat, sehingga selalu butuh bantuan orang lain untuk mengerjakan hal yang sangat mudah bagi manusia normal.

Ayatollah Antoni, Jakarta

BACA JUGA: Ya Tuhan, Anak-anak Panti Asuhan Keracunan Makanan Sisa Katering Hajatan

DANI Alvani terlihat jengah duduk di kursi rodanya ketika berada di tengah-tengah anak-anak dari Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Talenta Kids, Lenteng Agung, Sabtu (8/2) lalu.

Pertunjukan badut di selasar belakang Panti WTG ternyata tak membuat gadis 16 tahun penderita keterbelakangan mental (mental retardation/MR) itu riang.

BACA JUGA: Siswa Tunanetra Punya Kesempatan Ikut UTBK Masuk PTN

Dani yang juga menyandang lumpuh sejak lahir, menunjukkan reaksi agar dijauhkan dari badut. Dia pun lebih tenang saat ditarik ke ruangan dalam.

Sementara di luar ruangan, anak-anak TK yang berkunjung ke panti tempat para penyandang cacat itu tertawa riang melihat badut beraksi.

Di sebuah bed tak jauh dari Dani dan kursi rodanya berada, terbaring beberapa penderita cacat lainnya. Ada Tifani Ayu Wulan, penderita hidrosefalus yang pada 18 Januari lalu genap berusia 13 tahun.

Tak berdaya terbaring di atas bed besi cokelat, Tiwul -panggilan Tifani- juga menyandang tunawicara, keterbelakangan mental/MR dan spastic paralysis (kaku).

Hanya bersekat tembok, ada Teguh Idadi yang tengah tengkurap sembari terus mencoba memasukkan kedua kepalan tangannya yang terbungkus kain ke dalam mulut.

Teguh adalah warga asuh tertua di WTG. Lelaki kelahiran Cirebon, 7 Juni 1968, itu sudah menghuni WTG sejak 28 April 1975.

Sesekali Teguh meraung. Dia merupakan penderita keterbelakangan mental, tunawicara, tunarungu, tunanetra, cerebral palsy (kelainan akibat kerusakan otak) dan lumpuh.

Ada pula kakak beradik asal Medan, Markus dan Freddy Manulang. Keduanya penderita microcephalus. Ukuran kepalanya memang jauh lebih kecil dari rata-rata normal.

Namun, Manulang bersaudara menjadi penghuni WTG bukan semata-mata karena menderita microcephalus atau mikrosefalia. Keduanya juga penyadang tunarungu sekaligus tunawicara, sehingga sejak 1 Juni 1981 menjadi warga asuh di panti asuhan di bawah Panti Yatim Piatu Muslim itu.

Masih ada puluhan penyandang cacat lainnya di WTG. Perinciannya ialah 19 laki-laki dan 12 persempuan.

Meski sebenarnya WTG berada di bawah naungan yayasan muslim, penghuninya tak harus beragama Islam. 

"Syarat agar bisa ditampung di sini ialah penderita cacat ganda dan umurnya kurang dari sepuluh tahun," kata Suciati, petugas administrasi WTG.

Umur sengaja dibatasi kurang dari 10 tahun agar lebih memudahkan dalam pembinaan sehingga anak asuh bisa dilatih meski hanya untuk mengurus diri sendiri. Misalnya, agar bisa mandi dan buang air sendiri.

"Ada yang sudah bisa membantu kami mengepel lantai, tetapi sebagian besar memang harus dibantu," lanjut perempuan asal Tegal, Jawa Tengah itu.

Latar belakang anak asuh di WTG pun beragam. Ada yang dititipkan pihak keluarga, ada pula yang diambil dari panti asuhan lainnya.

"Ada yang ditemukan di tong sampah, ada yang ditinggal begitu saja," kata Suciati sembari menyebut nama salah satu anak asuh WTG.

"Ada yang orang tuanya awalnya cuma titip, tetapi setelah itu tak bisa dihubungi lagi," tuturnya.

Namun, ada pula orang tua yang masih peduli dengan anaknya yang menjadi penghuni WTG. Adalah Ita Pujiastuti, anak dari pasangan tunanetra yang terpaksa dititipkan ke panti itu karena menderita kerusakan otak akibat jatuh hingga menderita spastic paralysis.

"Kedua orang tuanya tunanetra, masih sering menengok ke sini," kata Arina, salah satu pengasuh di WTG yang saat ditemui tengah mendampingi Ita.

Mayoritas anak asuh di WTG bisa dibilang orang-orang yang kelahirannya 'tak diinginkan'. Menurut Suciati, hampir sebagian besar cacat yang diderita penghuni WTG disebabkan gagal digugurkan saat masih dalam kandungan.

"Gagal saat mau diaborsi, ketika sudah dilahirkan pun masih disia-siakan," ucap Suciati.

Tentunya tak semua penyebab cacat itu karena upaya aborsi yang gagal. Ada pula akibat perkawinan sedarah (incest).

"Ada juga yang lahirnya normal, lantas jatuh hingga akhirnya lumpuh dan mengalami kerusakan otak," tutur Suciati.

Yang pasti, menjadi pengasuh di WTG membutuhkan kesabaran ekstra dan semangat mengabdi luar biasa untuk kemanusiaan.

Para pengasuh tidak hanya bertugas menyuapi atau membantu anak-anak asuh mengenakan baju, tetapi hingga memandikan dan menceboki mereka.

"Yang enggak kuat masuk di sini untuk bekerja pasti mental. Ini bukan duit, tetapi soal kemanusiaan," lanjut Suciati yang memilih meninggalkan statusnya sebagai CPNS di Depnaker pada 1981 demi bergabung di Wisma Tuna Ganda.

Menurutnya, semangat untuk memuliakan manusia yang secara fisik kurang beruntung membuat para pengasuh tetap bertahan. Sebab, uang bulanan yang dikantongi pengasuh tak lebih dari Rp 400 ribu, bahkan ada yang gajinya hanya Rp 300 ribu.

"Istilahnya bukan gaji, tetapi uang honor yang diterima dari pihak yayasan, bukan dari panti ini," tutur Suciati.

Di luar itu ada natura atau pembayaran bukan dalam bentuk uang. "Kadang beras, kadang gula," lanjut Suciati.

Ada hampir 60 pengasuh di WTG termasuk seorang satpam. Mereka bekerja dengan sistem shift. Sehari dibagi dalam tiga shift.

Saat hari raya Idul Fitri pun para pengasuh tetap harus masuk sesuai jam kerja.

"Di sini yang nonmuslim hanya satu orang. Ada satu tukang masak kami adopsi dari Papua," lanjut Suciati.

Adapun untuk operasional bulanan, WTG butuh sekitar Rp 50 juta. Uang itu untuk membeli bahan makanan, pampers dan obat-obatan.

"Hampir semua yang di sini pakai pampers. Obat-obatannya juga mahal. Misal, obat epilepsi, bukan hanya mahal tetapi juga sangat sulit kami mendapatkannya," keluh Suciati.

Dia dan puluhan pengasuh lainnya merasa bersyukur karena setiap bulan kebutuhan itu tercukupi.

"Ada saja yang tiap hari menyumbang meski hanya Rp 50 ribu, tetapi kami sangat menghargai semangat memuliakan sesama yang secara fisik tidak beruntung," lanjutnya.

Lantas mengapa para pengasuh bisa bertahan hingga puluhan tahun di WTG? 

"Kami di sini hitungannya sudah kaya keluarga," kata seorang pengasuh bernama Roisyah.

Menurutnya, kadang ada perasaan jengkel karena anak asuh yang rewel. Namun, kadang anak-anak asuh itu juga bertingkah lucu.

"Mereka juga menggemaskan dan lucu. Bikin kangen malah karena sudah seperti anak sendiri," lanjut perempuan asal Purworejo, Jawa Tengah itu sembari tertawa.

Memang tingkah lucu kerap diperlihatkan anak-anak asuh di WTG. Misalnya, ada yang punya handphone meski tidak bisa menggunakannya.

Atau, ada pula anak asuh yang sangat doyan makan hingga kadang marah ketika diminta berhenti.

"Si Dani (Dani Alvani, red) malah sudah tahu kalau ada yang ganteng berkunjung di sini. Dia malu-malu," kata Suratmi, salah satu pengasuh di WTG sambil meminta Dani mempraktikkan kiss bye.

Sejak berdiri, WTG  sudah mengasuh 91 anak. Dari jumlah itu, yang bisa melanjutkan ke sekolah luar biasa tak sampai 5 orang, sedangkan 40 anak asuh lainnya meninggal dunia.

Belasan lainnya diambil lagi oleh pihak keluarga, diadopsi pihak lain atau dirawat oleh panti asuhan lainnya. Kini, tersisa 31 anak asuh yang masih menghuni Wisma Tuna Ganda.(ara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler