jpnn.com - Wiwik Sumbawati menikmati tugasnya sebagai bidan di daerah t terpencil, Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB. Dia bak pahlawan bagi warga yang bermukim di desa-desa di kaki Gunung Tambora.
Urusannya bukan cuma soal ibu hamil. Melainkan menangani dan meresepkan obat bagi penyakit-penyakit keseharian masyarakat lainnya.
BACA JUGA: Keppres Pengangkatan Bidan Desa Jadi CPNS Sudah Siap
FATIH KUDUS JAELANI, DOMPU
SEHABIS berbuka puasa, Bidan Wiwik meminta izin kepada suaminya untuk melaksanakan ibadah Salat Magrib lebih dulu. “Kalau ada yang datang, minta tunggu sebentar ya,” katanya kepada Doriwanto, suaminya.
BACA JUGA: Pengen Punya HP dan Bayar Utang, ABG Nekat Merampok Bidan
Sang suami, yang juga Kepala Desa Kadindi pun mengangguk. Sebelum berwudu, Wiwik masuk ke dapur dan keluar membawa buah melon.
Ia tidak berkata-kata, tetapi senyum ramahnya mengisyaratkan kepada Lombok Post (Jawa Pos Group) untuk segera mencoba buah segar berwarna oranye itu. Kepala desa pun membantu istrinya. “Mari dimakan dulu buahnya,” kata Anto.
BACA JUGA: Kaget, Gaji Bidan Desa jadi PNS Ditanggung APBD
Tak lama kemudian, terdengar ada yang mengucapkan salam. Dia adalah warga yang merupakan pasien bidan Wiwik. Bidan Wiwik yang sudah selesai menjalankan ibadah Salat Magrib segera meminta pasiennya masuk.
Di halaman rumah Kepala Desa Anto, terdapat tiga buah kamar. Kamar yang berada di tengah merupakan tempat Bidan Wiwik memeriksa dan mengobati pasiennya.
Sementara dua kamar yang mengapit tempat praktik tersebut merupakan kamar yang memang sudah disediakan Anto untuk tamu-tamunya. Lombok Post pun menginap di salah satu kamar tersebut.
Setelah Salat Magrib, Lombok Post berbincang dengan beberapa pasien Bidan Wiwik yang sekarang sudah menjadi Koordinator Bidan di Kecamatan Pekat. Beberapa pasien tentu mau diajak ngobrol, hitung-hitung mengurangi rasa lama di bangku antre.
Salah satu warga yang berobat itu bernama Supardin. Ia mengatakan dari dulu sampai sekarang hanya Wiwik yang dipercaya untuk menyembuhkan sakitnya.
“Tidak bisa digantikan. Soalnya beda cara nyuntiknya,” kata Supardin sembari memperagakan cara memasukkan jarum ke tubuh manusia.
Tentu cara menyuntik semua tenaga medis di dunia ini sama. Tidak ada yang berbeda. Akan tetapi apa yang dikatakan Supardin merupakan sugesti yang ia bangun sendiri. Penyebabnya kepercayaan tadi.
“Soalnya saya selalu mengajak mereka bercanda. Jadi mereka merasa nyaman berobat ke saya,” kata Wiwik mengomentari kata Supadin.
Selain asyik, faktor jam terbang juga menjadi alasan warga desa Kadindi untuk menanam kepercayaan padanya. Meski kini ia sudah tugas di kota kecamatan. Salah seorang pasien lainnya mengatakan, ia akan menunggu Bidan Wiwik, kapan pun ia ada di rumahnya. Selalu seperti itu.
Di bulan Ramadan, setelah berbuka, hampir setiap malam ia kedatangan pasien. “Biasa, penyakit karena perubahan pola makan. Biasanya mual dan muntah,” kata Wiwik.
Wiwik sendiri sudah dari puluhan tahun lalu tidak hanya menangani persoalan ibu hamil. Akan tetapi hampir semua penyakit yang diderita warga. Ia tentu bisa. Sebab pendidikan pertama sebelum menempuh pendidikan kebidanan, dia menempuh pendidikan di Sekolah Perawat Kesehatan, sekolahnya para mantri.
Sampai sekarang, sebagai Bidan di Kecamatan, pekerjaan utama Wiwik adalah berusaha mengurangi angka kematian bayi di kecamatan Pekat. Di mana musuh utamanya adalah pernikahan di usia dini.
“Tahun lalu ada dua kasus. Tahun ini belum ada. Semoga tidak ada ya,” kata Wiwik yang mengaku belum lama ini menjadi koordinator.
Tahun 1998 Bidan Desa Wiwik Sumbawati pindah tugas dari Desa Kempo ke Kadindi. Tiba di tempat tugas baru, Wiwik disambut tingginya angka pernikahan dini yang menyebabkan banyaknya perempuan yang hamil di usia muda. Bahkan kelewat muda. Akibatnya ia menangani proses persalinan setiap hari.
Setiap hari ia mengurus persalinan warga Desa Kadindi seorang diri. Dari perbatasan Pancasila sampai Karombo sana. “Dulu belum ada sepeda motor. Saya harus jalan kaki dari ujung ke ujung,” kata Wiwik.
Tahun itu keberadaan dukun beranak masih banyak. Hampir di setiap dusun ada. Salah satu tugas seorang bidan desa adalah sedapat mungkin merangkul dukun melahirkan guna mengurangi risiko yang tidak diinginkan. Untuk itu, Wiwik punya cara sendiri.
Pertama ia mendata jumlah dukun yang ada. Hal itu dilakukan bersamaan dengan pemetaan ibu hamil di desa. Saat itulah ia mengenal Doriwanto yang pada saat itu masih menjadi ketua Karang Taruna Desa Kadindi.
Singkat cerita, kedekatan ketua Karang Taruna dengan bidan desa berujung di pelaminan. Sekarang, Doriwanto menjadi kepala desa Kadindi. Mereka memiliki dua orang anak. Eh, kok malah ngelantur ke pernikahan ya?
Kembali ke siasat Wiwik merangkul dukun beranak. Wiwik menanyakan berapa upah jasa yang didapatkan si dukun untuk sekali persalinan. “Misalnya dia dapat Rp 20 ribu dan 3 kilo beras, maka saya memintanya membawa pasien ke Polindes dan mendapatkan Rp 50 ribu dari saya. Dengan cara itu mereka mau,” kata Wiwik.
Bertahun-tahun, Wiwik melakukan cara itu untuk bisa bersama-sama menangani persalinan ibu hamil di Kadindi. Menurutnya, pengalaman menjadi bidan Desa di Kadindi sangat mengesankan. Terutama bila mengingat proses menangani persalinan ibu hamil berusia 12 tahun. “Itu yang termuda,” kata Wiwik.
Waktu itu Wiwik belum memiliki jam terbang yang tinggi. Namun bukan berarti ia kaget dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengatakan ilmu yang didapatkan sudah cukup untuk menangani semua proses persalinan. Termasuk menangani yang dibawah umur sekalipun.
Tentu risiko terjadinya pendarahan karena rahim yang masih sangat muda bisa terjadi. Namun beruntung Wiwik mengetahuinya sejak dini.
“Alhamdulillah, waktu itu proses persalinan berhasil. Ibu dan anak selamat dan sehat,” terang Wiwik sembari mempersilahkan Lombok Post menghabiskan buah melon yang terhidang.
Kini Bidan Wiwik sedang gencar memberikan edukasi kepada warga. Jangan sampai pernikahan dini terjadi, lantaran begitu riskannya rahim yang masih terlalu muda harus terisi. Bersyukur ia punya suami yang juga bertanggung jawab untuk itu. (*/r8)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Alasan Usia, 4.000-an Bidan PTT Tak Bisa Diangkat PNS
Redaktur & Reporter : Soetomo