WOW! Penyiar Radio Pemberontakan Di Surabaya Diburu Belanda, Hadiahnya...(2)

Senin, 09 November 2015 – 14:20 WIB
K'Tut Tantri dikelilingi wartawan, Desember 1945. Foto: Revolt In Paradise.

jpnn.com - SURABAYA ditinggalkan. Sementara waktu biarlah ia menjadi kota kenangan. 

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Radio Pemberontakan Arek Suroboyo dan Ritual Bikin Kebal (1)

=======

Setelah tiga hari tiga malam dibombardir Sekutu tanpa henti, kota Surabaya bermandikan darah. 

BACA JUGA: MERDEKA ATAU MATI...Arek Suroboyo Berlawan (2/habis)

Tak hanya pemuda, mayat perempuan dan anak-anak tergeletak di jalanan dan selokan. "Tapi rakyat Indonesia tidak menyerah," tulis K'Tut Tantri dalam Revolt In Paradise.

Pasukan Republik kemudian memutuskan pergi gerilya meninggalkan Surabaya, termasuk Bung Tomo.

BACA JUGA: MERDEKA ATAU MATI...Arek Suroboyo Berlawan (1)

Pun demikian, "suara Bung Tomo setiap malam terdengar melalui pemancar rahasia di Malang," kenang Tantri.

Di "ruang redaksi" Radio Pemberontakan, Jl. Mawar, Surabaya sisa tiga orang. Ketiganya orang seberang yang berposisi di pihak Indonesia. 

K'Tut Tantri, perempuan Amerika keturunan Inggris Skotlandia dan dua orang lagi. Masing-masing keturunan Arab dan India.

"Penyiar kami orang Indonesia sudah pergi ke pegunungan sehari sebelumnya untuk mempersiapkan tempat yang baru, yang lebih aman untuk siaran," tulis K'Tut Tantri.

Seluruh awak redaksi Radio Pemberontakan sebetulnya diajak hijrah meninggalkan kota, tapi Tantri bersitahan. 

Tak lama kemudian, bom-bom Sekutu mulai meletus di sekitar Jl. Mawar, tempat radio itu berkedudukan. 

"Penyiar kami orang India sedang ke belakang untuk buang air. Pecahan mortir mengenainya, dan menemui ajalnya seketika," tutur Tantri.

Didatanginya konsul-konsul perwakilan diplomatik Swedia, Denmark, Swiss dan Rusia yang ada di Surabaya. 

Tantri meminta mereka agar datang ke Radio Pemberontakan di Jl. Mawar untuk wawancara mengisi siaran malam. 

"Protes paling keras di antara semua yang kuinterview adalah dari Rusia," ungkapnya. 

Keesokan harinya, Radio Pemberontakan di Jl. Mawar ditutup.  Perlengkapan pemancar disimpan di sebuah rumah yang dirahasiakan. 

Tetap Mengudara

Dikawal tiga orang TKR, Tantri dibawa ke Bangil naik jip. Di sana sudah disiapkan pula pemancar. 

Dari Bangil, Radio Pemberontakan berbahasa Inggris kembali mengudara.  

Jadi, Bung Tomo siaran dalam bahasa Indonesia dari Malang, Tantri siaran dalam bahasa Inggris dari Bangil.

"Sekali atau dua kali dalam seminggu, dia (Bung Tomo--red) datang ke Bangil," kenang Tantri. "Kami mengadakan siaran bersama."

Menurut cerita Tantri, setiap usai siaran, mereka duduk melingkar api unggun. Kadang saling berbagi cerita, kadang bernyanyi bersama. 

Ada yang mojok nggak ya? Entah! Revolusi sih revolusi. Tapi, bagaimana pun, mereka anak muda biasa.

Sembari itu, mereka putar gelombang mencari siaran tak resmi yang biasa menghembuskan propaganda antirepublik. 

Sekali waktu, radio kaki tangan Belanda itu mengumumkan: Kepada yang menyerahkan K'Tut Tantri, penyiar Radio Pemberontakan ke markas Belanda di Surabaya, dapat hadiah 50 ribu gulden.

Siaran itu menarik perhatian para muda-mudi gerilya itu. 

Biasanja kami tidak merepotkan diri untuk mendjawab siaran Belanda. ketjuali djika ada hal jang sungguh2 perlu ditangkis. Tapi kali ini kami merasa geli. Aku berkumandang di udara memanggil pemantjar Belanda itu, menjebut namaku dan menjatakan...

Tuan2 tahu, bahwa gulden Belanda tidak berharga sekarang di Indonesia? Kami mempunjai uang sendiri.

Hijrah Lagi

Beberapa pekan di Bangil, pesawat terbang mulai berputar-putar. Mereka memutuskan pindah ke sebuah tempat di belakang Mojokerto. 

Dalam kegelapan malam, barang-barang dan perkakas pemancar radio dikemas. 

Karena jalannya terjal, rombongan naik kuda. Sesampai di tujuan, Tantri berkisah, "kami mulai memasang perlengkapan radio."

Sayang seribu kali sayang. Sebagian alatnya rusak. 

Mencari pengganti alat yang rusak amatlah sukar. Kalau pun menyambangi Bung Tomo di Malang, sama saja. Situasi di sana juga sedang payah.

Tiba-tiba ada yang nyeletuk, "masih ingatkah saudara-saudara pada alat-alat yang kita sembunyikan di dekat Jl. Mawar? Sayang kita tak bisa masuk Surabaya..."

Surabaya memang telah dikuasai Sekutu. Tapi, itu kota kita! Kita paham tiap jengkalnya. 

Nah, berhasilkah para gerilyawan ini mengambil pemancar di Surabaya? Dan bagaimana caranya? Mari ikuti kisah selanjutnya… --bersambung (wow/jpnn)

(Tentang K'Tut Tantri, baca: Bule Cantik Ini Selalu Mendampingi Bung Tomo)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Mana Senjata Rakyat Surabaya?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler