jpnn.com - JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Artha mengungkap bahwa munculnya fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 terjadi karena perilaku dari partai politik.
“Ini terjadi karena perilaku DPP partai. Dosanya DPP membuat undang-undang yang mengunci calon perseorangan. Syarat dibikin berat, nambah 3 persen sehingga kemudian calon perseorangan jadi mundur,” ujar Putu, Jumat (31/7) malam.
BACA JUGA: Skandal Alat Kontrasepsi, 5 TSK Sudah Ditahan, 1 Mangkir
Selain itu, DPP partai politik kata Putu, juga diduga mematok harga mahar yang sangat mahal untuk setiap pasangan bakal calon kepala daerah yang akan diusung.
“Dulu zaman saya (2007-2012), satu kursi Rp100 juta- Rp200 juta masih bisa masuk, sekarang rata-rata Rp1 miliar itu maharnya. Malah kalau disatukan lima kursi, ketika kursi ini sangat menentukan ditawar Rp15 miliar,” ujarnya.
BACA JUGA: Pemerintah Siapkan 3 Metode untuk Atasi Kebakaran Hutan
Saat ditanya apakah benar pasangan bakal calon yang diusung partai politik rata-rata membayar mahar dalam pilkada, Putu membuka peluang tersebut.
“Iya (membayar mahar). Makanya jangan heran kalau besok banyak bupati yang masuk penjara. Karena perilaku elitenya di Jakarta. Itu sebabnya bakal calon berpikir, dari pada mereka habis uang untuk bayar mahar dan belum tentu menang, ya mending enggak usah nyalon,” ujarnya.
BACA JUGA: Ingin Meriahkan Muktamar NU, Komunitas Onthel Pitoe Gowes ke Jombang
Meski menyebut kemungkinan fenomena calon tunggal antara lain disebabkan mahar yang sangat tinggi, penyebab lain adalah tetap saja karena kekosongan hukum yang ada.
“Harusnya menurut saya level ini di level undang-undang, seperti Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Ada dua opsi agar teman-teman di KPU tidak kelabakan,” ujarnya.
Selain itu, calon-calon tunggal yang dirugikan, kata Putu, bisa melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama terkait pasal tentang penetapan calon, agar bisa ditafsirkan calon tunggal.
“Opsinya ada dua, calon tunggal ditetapkan sebagai pemenang, atau calon tunggal di kembalikan berkasnya, lalu partai pengusung di minta mengusung dua nama. Modul sepeeti ini pernah terjadi di PAW (pergantian antar waktu) bupati, kalau bupatinya berhalangan, parpol pengusungnya kan mengusung dua nama calon, lalu dipilih oleh DPR. Saya pribadi sih lebih cenderung ke penetapan langsung,” ujar Putu. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Begini Paskibraka Digembleng
Redaktur : Tim Redaksi