jpnn.com - jpnn.com - Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk berpenghasilan rendah dan tinggi di Kalimantan Timur masih tinggi.
Hal itu dapat dilihat dari pengeluaran penduduk per kapita di Benua Etam, julukan Kaltim.
BACA JUGA: Warga Bersumpah Lihat Hantu Kuyang di Sini, Histeris
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim Habibullah, semakin tinggi pengeluaran penduduk, biaya di daerah tersebut kian mahal.
Dia mengatakan, dari pencatatan data pengeluaran penduduk yang dilakukan BPS dua kali dalam setahun, Balikpapan kerap dipandang banyak pihak sebagai kota mahal.
BACA JUGA: Aturan Baru Mulai 2017, SIM C Dibagi Jadi 3 Kategori
Pasalnya, penginapan, sewa rumah, hingga biaya hidup mahal.
“Tapi, nyatanya itu hanya terlihat sekilas. Padahal, menurut data yang berangkat dari rata-rata pengeluaran masyarakat, justru Bontang yang dikatakan kota termahal,” urainya.
BACA JUGA: Penerimaan Pajak Rp 3,1 Triliun, Masih Jauh Dari Target
Hal tersebut digambarkan oleh pengeluaran per kapita disesuaikan (PKD) yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli.
Berdasar data BPS Kaltim, rata-rata PKD Bontang mencapai Rp 15,98 juta per tahun.
Jumlah tersebut mengalahkan kota-kota maju lain seperti Samarinda sebesar Rp 13,85 juta serta Balikpapan (Rp 13,7 juta).
Sementara itu, PKD terendah berasal dari Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), yakni Rp 7,162 juta per tahun.
Habibullah menjelaskan, Bontang adalah daerah yang termahal juga ditilik dari tingkat harga barang.
Dilihat dari rata-rata pengeluaran tiap orang di Bontang yang sebanyak Rp 1,6 juta, hal itu dipicu harga barang-barang, terutama bahan pangan yang tinggi.
“Jika ada empat orang di Bontang, sementara rata-rata per kapita Rp 1 juta, dia harus punya gaji Rp 4 juta untuk bisa hidup layak di sana,” bebernya.
Dia menerangkan, tingkat kemahalan barang di Bontang tinggi karena kota tersebut hanya daerah yang kecil dengan luas sekitar 150 kilometer persegi.
Jadi, memerlukan bahan pangan maupun nonpangan kebanyakan dari luar daerahnya.
“Karena tidak memiliki areal pertanian yang memadai, akhirnya untuk keperluan makanan saja mereka (warga Bontang) harus mendatangkan dari luar Kaltim. Sehingga ongkos angkutnya menjadikan harga jual di Bontang mahal,” urai Habibullah. (roe/riz/kpg/gun)
Redaktur & Reporter : Ragil