jpnn.com, BALI - Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyajikan Telu yang dilaksanakan di Museum Pasifika.
Telu terbagi dalam tiga area. Pada area pertama, pengunjung diajak untuk menikmati suasana pasar tradisional di Bali yang menyajikan berbagai jenis rempah dan olahannya.
BACA JUGA: TELU: Menemukan Kearifan, Memahami Kekayaan Budaya Bali
Selain itu, pengunjung juga bisa mencicipi secara langsung produk olahan yang telah disediakan. Di area pasar rempah terdapat Giant Book Jalur Rempah yang menginformasikan bahwa Bali telah terintegrasi dalam jalur rempah sejak awal abad masehi.
Repro manuskrip Nusantara yang mengabarkan eksistensi rempah dalam perdagangan dunia juga dipamerkan dalam area pasar rempah.
BACA JUGA: Pertamina Gaungkan Pelestarian Air dan Lingkungan di WWF 2024
“Kami ingin mendekatkan pengetahuan tradisional masyarakat Bali dalam memanfaatkan rempah dalam bentuk produk olahan seperti bubur, jamu, sate lilit, lulur tradisional, minuman rempah tradisional yang diolah berdasarkan lontar ushada Bali kepada pengunjung Telu,” jelas Ketua Tim Kerja Diplomasi Jalur Rempah Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan M. Atqa dalam keterangannya, Jumat (24/5).
Pengunjung dibawa menuju area kedua yang berada di halaman tengah yang telah disulap menjadi area pertunjukan kesenian tradisional Bali yang telah dilengkapi dengan kolam kecil sebagai bagian dari pertunjukan.
BACA JUGA: Para Pemimpin Global Ulas Strategi Pembiayaan Campuran untuk Ketahanan Air di WWF ke-10
Bahkan dalam pertunjukan seni tari kecak, pengunjung dapat turut menari kecak bersama, di atas jalur air yang telah disediakan. Pertunjukan tari ini hadir setiap hari dengan durasi selama 2 jam selama 2 sesi pada pukul 09.00 – 11.00 dan 15.00 – 17.00 WITA.
Berpindah ke area tiga, pengunjung akan disajikan pameran subak dengan konsep alam dilengkapi tata lampu yang akan membawa pengunjung merasakan suasana subak secara langsung.
Tidak ketinggalan juga, pameran dilengkapi dengan koleksi artefaktual terkait subak dari Museum Provinsi Bali, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV, dan Pusat Informasi Majapahit, serta koleksi lukisan pelukis terkenal, Walter Spies, bertemakan subak dan perairan dari Museum Pasifika.
“Event ini dibuka untuk umum, gratis selama lima hari, dan pengunjung juga akan mendapatkan merchandise menarik,” terang M. Atqa.
Event dengan tema Telu: Pasar Rempah, Pameran Subak, dan Pertunjukan Seni Budaya Bali berlangsung dari 21 - 25 Mei 2025 bertempat di Museum Pasifika, sebagai bagian dari World Water Forum 2024.
“Telu dalam bahasa Bali berarti ‘tiga’ yang mengacu pada ajaran Tri Hita Karana sebagai simbol harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, dengan manusia, dan alam dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Bali,” tutur Kurator Pameran Telu, Erwien Kusuma.
Dalam konteks Bali, Tri Hita Karana sebagai konsep spiritual, kearifan lokal, dan sekaligus falsafah hidup masyarakat Hindu Bali bertujuan menciptakan keselarasan hidup manusia, alam, dan Tuhan.
Beranjak dari falsafah itu, semua aspek kehidupan masyarakat yang mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan diatur, dilestarikan, dikembangkan oleh masyarakat Bali, termasuk dalam mengelola air (subak), penggunaan rempah dalam setiap sendi kehidupan Masyarakat Bali yang kaya akan aroma rempah, dan kebudayaan.
Pameran yang menghadirkan narasi jalur rempah membuktikan bahwa jalur rempah bukan semata jalur perdagangan, tapi juga jalur interaksi budaya dan religi yang mempertemukan bangsa-bangsa.
Ada khazanah pengetahuan yang luar biasa di dalamnya, yang bisa menjadi inspirasi bagi kita hari ini. “Dengan pameran ini kita bisa melihat betapa pentingnya kebudayaan dalam sistem global kita sejak lama,” kata Erwien.
Lebih lanjut dikatakan Subak yang telah berlangsung ribuan abad lalu, mampu bertahan keberlanjutannya hingga sekarang. Isu pengelolaan air berbasis warisan budaya, hendaknya menjadi perhatian kebijakan pengelolaan air dalam konteks global.
"Oleh sebab itu, WWF 2024 di Bali ini adalah momentum yang tepat sekaligus menjelaskan subak lebih luas kepada komunitas internasional yang telah tercatat sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2012,” jelas ahli Subak, Yunus Arbi. (esy/John)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad