jpnn.com, TAPTENG - Sejumlah warga di Desa Sigodung, Kecamatan Sirandorung, Tapteng, Sumut, tengah mempermasalahkan sebuah proyek di daerah tersebut.
Pasalnya, proyek yang menggunakan Dana Desa sebesar Rp 363.140.000 untuk tahun 2017 dinilai sangat tidak wajar.
BACA JUGA: Optimalisasi Dana Desa Bisa Serap Tenaga Kerja di Tiap Desa
Warga pun menilai ada kejanggalan pada proyek pencucian/pembersihan parit atau drainase sepanjang 1.900 meter yang terletak di Dusun II tersebut.
Kepala Desa berinisial FS pun jadi sasaran kecurigaan warga, karena dinilai begitu banyak kejanggalan dalam proyek ini.
BACA JUGA: Dua Bocah Tewas Tenggelam saat Berenang di Sungai Sibandat
Sejumlah warga menuding bahwa nilai dana desa tersebut terlalu besar hanya untuk pembersihan parit dari sampah-sampah.
Sebab, untuk pembuatan parit saja, pada tahun 2014 lalu, hanya menggunakan dana Rp110 juta.
BACA JUGA: Cegah Kampanye Terselubung Mendompleng Dana Desa
“Pembangunan parit ini tahun 2014, nilainya hanya Rp110 juta, sudah termasuk uang operasional. Panjangnya sama, 1.900 meter. Kenapa untuk mencuci parit ini saja menghabiskan anggaran sampai Rp 363.140.000,” kata Gunadi Marbun, warga sekitar diamini puluhan warga lainnya yang meninjau proyek dana desa tersebut, Selasa (31/10).
Dan, pembersihan parit tersebut pun hanya berlangsung selama 4 hari dengan menggunakan alat berat.
“Buatlah seminggu. Terus berapalah anggarannya? Ini sudah tidak masuk akal lagi,” ketusnya.
Masih kata Gunadi, sekalipun ditambah dengan 2 plat dwiker yang belakangan dibangun, dengan menggunakan sumber dana yang sama, tetap anggaran dana desa tersebut berlebih cukup banyak.
“Kalau saya disuruh mengerjakan ini, untuk mencuci parit ini, Rp70 juta pun saya terima. Ditambah pembuatan plat dwiker 2, nggak sampai Rp100 juta, sudah siap saya kerjakan itu. Berarti totalnya hanya Rp170 juta saja. Sisanya kemana?” katanya.
Menurut informasi yang diterima warga dari tukang yang mengerjakan plat dwiker tersebut, mereka hanya diberi upah borongan Rp 6 juta per unit.
“Kalau plat dwikernya 2 berarti upahnya hanya Rp12 juta saja. Berapa banyak rupanya bahan yang diperlukan untuk mengerjakannya?” pungkasnya.
Warga lainnya, Tri Multa Nainggolan, menambahkan, saat warga meminta penjelasan kepada oknum kepala desa mereka, FS malah membentak warga yang mencaritahu tentang aliran dana desa mereka.
Padahal, menurut ketentuannya, warga berhak dan berkewajiban mengetahui dan mengawasi penggunaan dana desa.
“Sedangkan menanyakan RAB (Rencana Anggaran Biaya) saja sudah marah, apalagi meminta. Itu yang marah kali dia (kepala desa) sama kami waktu ditanya soal dana desa itu,” kata pria yang juga ketua Jaringan Pendamping
Kebijakan Pembangunan (JPKP) untuk DPC Sirandorung ini diamini rekannya Hasudungan Simanullang, mantan kepala desa yang digantikan FS tahun lalu.
Dikatakan, warga akan terus mempertanyakan mengenai alokasi dana desa tersebut. Bila tidak ada jawaban dari FS, mereka akan melaporkan dugaan korupsi dana desa mereka tersebut ke pihak yang berwajib.
“Jelas itu. Kami akan laporkan ke pihak yang berwajib kalau dia (FS) tidak menjelaskan kemana saja dana desa itu dia alokasikan. Jangan mencari kekayaan dengan mengatasnamakan masyarakat.
“Dana desa adalah hak masyarakat, bukan hak kepala desa saja. Kepala desa hanya aparatur, perpanjangan tangan pemerintah sebagai pengelola anggaran. Bukan berarti kami masyarakat tidak bisa tahu tentang aliran dananya. Tekad kami sudah bulat akan melaporkan ini,” tegasnya.
Terpisah, FS yang dikonfirmasi via telepon selularnya tidak berhasil. Menurut warga, belakangan, setelah muncul tuntutan warga mempertanyakan alokasi dana desa tersebut, FS susah ditemui di rumahnya. Bahkan, nomor hp sering berganti.(ts)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 5 Tahun, Usut 214 Kasus Penyelewengan Dana Desa
Redaktur & Reporter : Budi