jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin mengatakan bahwa upaya mengubah sistem pemilihan umum sebagaimana judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi harus diperhitungkan dampaknya.
Sebab, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu mengingatkan bahwa dampak perubahan sistem proporsional ke arah yang tertutup cukup besar. "Bukan saja mengubah hal-hal teknis, tetapi juga memengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik," kata Yanuar dalam keterangannya, Jumat (30/12).
Dia menjelaskan secara teknis proporsional tertutup memang lebih memudahkan Komisi Pemilihan Umum dalam mempersiapkan pemilu, khususnya yang berkaitan dengan logistik pesta demokrasi. Namun, tegas dia, harga yang harus dibayar cukup mahal.
Menurut Yanuar, harga yang harus dibayar itu ialah konfigurasi internal pencalegan di masing-masing parpol akan berubah, proses pematangan, pendewasaan, dan kompetisi para caleg menjadi terhenti.
BACA JUGA: Ketua KPU Minta Jangan Ada Komisioner yang Sakit Hati Jika Diadukan ke DKPP
Selain itu, perilaku politik para politisi akan berubah menjadi lebih elite, hubungan caleg dan konstituen akan hancur berantakan.
"Lebih jauh, akan berdampak pada buruknya hubungan anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihannya," lanjutnya.
BACA JUGA: Ketua KPU Ungkap Ada Kemungkinan Pemilu Proporsional Tertutup
Pada sisi lain, Yanuar menyebutkan sistem proporsional terbuka ialah putusan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2009.
Jika nanti MK mengabulkan gugatan judicial review ke arah proporsional tertutup, kata dia, hal ini akan menjadi aneh. MK berarti punya standar ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu.
"Dan apakah soal sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup menjadi layak dihadapkan dengan konstitusi? Bukankah soal ini lebih merupakan dinamika kontemporer dan perkembangan sosiologis di lapangan bukan soal konstitusional? Apakah konstitusi secara rigid mengatur sistem pemilu tertentu?" sambungnya.
Yanuar menyatakan perubahan sistem pemilu, semestinya menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR.
Yanuar berpendapat jika MK terlibat lebih jauh soal ini, berarti bukan lagi menggunakan pendekatan konstitutif, tetapi terjebak dalam pendekatan aktual lapangan yang semestinya menjadi ranah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU.
"Jika suatu sistem pemilu tertentu yang dianut berakibat munculnya hal-hal buruk, seperti pragmatisme, biaya mahal, persaingan tidak sehat antarcaleg, menurunnya loyalitas kepada partai dan lain-lain, ini bukan persoalan konstitusional" pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengungkapkan ada kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup.
Hasyim menyebutkan sistem itu sedang dibahas melalui sidang di MK.
"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi. Ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Kamis (29/12).
Dia menyebutkan sistem proporsional terbuka dimulai sejak Pemilu 2009 berdasarkan putusan MK. Hasyim menegaskan dengan begitu, maka kemungkinan hanya keputusan MK yang dapat menutupnya kembali. "Maka sejak itu Pemilu 2014, 2019, pembentuk norma UU tidak akan mengubah itu, karena kalau diubah tertutup kembali akan jadi sulit lagi ke MK," pungkas Hasyim. (mcr8/jpnn)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Kenny Kurnia Putra