Yasonna: Demokrasi Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Bukan Logika Menang-menangan

Rabu, 26 April 2023 – 18:39 WIB
Ketua DPP PDIP Yasonna H Laoly mengatakan corak demokrasi Indonesia yang berideologi Pancasila dalam gotong royong. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPP PDIP Yasonna H Laoly mengatakan corak demokrasi Indonesia yang berideologi Pancasila menurut pada pendiri bangsa sejatinya bercorak gotong royong.

Menurut Yasonna, konsep demokrasi musyawarah untuk mufakat berarti semua pihak harus saling mengalah untuk sampai pada mufakat dan suara bulat. Atau juga berkompromi sampai mencapai mufakat.

BACA JUGA: Yasonna Harap Kontingen Kempo Harumkan Nama Indonesia di WKC Portugal

"Oleh karena itu penyelenggaraan demokrasi Indonesia dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh logika menang-menangan, pengaduan kekuatan, tipu muslihat dan voting. Perkataan gotong royong adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada demokrasi kita yang sejati," ujar Yasonna dalam keterangannya, Rabu (26/4).

Yasonna mengatakan Indonesia menganut sistem presidensial bukan parlementer. Sistem parlementer sebagaimana namanya adalah pemerintahan yang dikontrol oleh parlemen. Suatu pemerintahan hanya akan bertahan jika didasarkan atas koalisi antarpartai di parlemen.

BACA JUGA: Buka Ujian Kenaikan Tingkat Kempo, Yasonna Laoly Beri Pesan Penting untuk Atlet

"Namun sejarah mencatat Indonesia di bawah sistem parlementer berada dalam kondisi kacau balau, jatuh bangun kabinet, krisis politik dan bahkan pemberontakan-pemberontakan di daerah," katanya.

Yasonna menuturkan, koalisi partai politik sejatinya untuk memperoleh suara mayoritas dalam parlemen dalam membentuk satu kabinet atau pemerintah. Dari definisi koalisi pada hakikatnya dimaksudkan dalam konteks pembentukan pemerintahan oleh parlemen, bukan dalam rangka mengusulkan pasangan capres-cawapres.

BACA JUGA: Yasonna Ungkap Terobosan Baru Perlindungan WNI di Luar Negeri

Sementara di Indonesia yang menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada pasal 6A ayat (2) UUD NRI tahun 1945, yang berbunyi pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

"Begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih," tuturnya.

Kemudian, masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam sistem presidensial juga selama lima tahun dalam satu periode maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal.

"Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan," ungkapnya.

Karena itu, Yasonna mengungkapkan, sejatinya lebih tepat menggunakan istilah kerja sama ketimbang koalisi. Istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing pihak berkedudukan secara proporsional.

"Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik," tuturnya.

Hal itulah yang membuat pembentuk UU menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional.

"Logikanya partai yang sudah bekerja keras secara baik dan maksimal mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum mampu secara maksimal meraih suara rakyat. Asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerjasama antar partai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden," katanya.

Dia juga mengingatkan ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 persen dari jumlah kursi DPR, maka secara otomatis disebut pengusul. Di sisi lain, yang tidak memenuhi disebut pendukung.

Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya.

"Sistem politik kita memberi reward (penghargaan) kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres sendiri, tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk 20 persen dari jumlah kursi DPR," tuturnya.

Sehingga dalam kerja sama politik baik dalam tahapan pemilu presiden 2024 maupun kerja sama dalam pembentukan kabinet pasca pemilu, haruslah mengacu pada spirit demokrasi Pancasila yakni kerjasama politik yang bernapaskan gotong royong, di mana di dalamnya dijunjung keadilan secara proporsional.

Artinya menurut Yasonna, setiap pelaku politik yang bekerjasama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan proporsinya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah UUD NRI 1945 dan UU Pemilu dan etika politik yang baik.

"Dengan begitu, kerja sama politik akan dipenuhi oleh suasana hikmat kebijaksanaan yang di dalamnya tergambar semangat untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan," pungkas Yasonna.(mcr10/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler