jpnn.com, JAKARTA - Dalam proses edukasi dan kampanye seputar isu pemberdayaan perempuan (women empowerment) dibutuhkan pejuang-pejuang atau champions yang tidak terbatas hanya pada kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki.
“Dibandingkan perempuan, laki-laki justru memiliki peran lebih strategis dalam mengampanyekan isu kesetaraan gender (gender equality) dibandingkan perempuan," ujar Yenny Wahid, saat menjadi pembicara dalam dialog "The Future of Women" di arena pameran teknologi Disrupto 2019, Plaza Indonesia, Jakarta, Sabtu (23/11).
BACA JUGA: Begini Cara IWAPI Dorong Kesetaraan Gender di Era Revolusi Industri 4.0
Menurut Yenny, jika perempuan yang aktif berbicara tentang hak-hak perempuan atau kesetaraan gender sering kali dipandang nyinyir dan dianggap cerewet.
“Tetapi jika lelaki yang berbicara tentang isu tersebut, kaum laki-laki justru lebih siap mendengarkan dan menerima," katanya.
BACA JUGA: Keadilan dan Kesetaraan Gender di Era 4.0
Yenny Wahid menambahkan di era disrupsi teknologi yang berdampak luas terhadap kehidupan, memang sudah seharusnya perempuan Indonesia lebih berdaya. Dalam arti, memiliki kemandirian dalam berbagai hal.
"Dengan begitu, mereka tidak akan mudah terombang-ambing oleh pengaruh buruk dari luar, termasuk terkait intoleransi dan radikalisme," ujarnya.
BACA JUGA: Yenny Wahid: Prestasi Polri Luar Biasa Meski Ada Noda
Yenny berpendapat perempuan berperan besar dalam merawat toleransi dan perdamaian. Selain itu, perempuan juga sangat menentukan karakter masyarakat.
"Jangan pandang sebelah mata. Sebab, jika seseorang berhasil memberdayakan seorang perempuan, maka orang tersebut telah memberdayakan seluruh komunitas," lanjut Direktur Wahid Foundation ini.
Bicara pemberdayaan perempuan, demikian Yenny, yang paling utama adalah di bidang ekonomi dan kesetaraan gender. Perempuan Indonesia harus sadar bahwa sudah bukan zamannya mereka sekadar menjadi "teman hidup" seorang laki-laki. Mereka harus mandiri. Berdiri menentukan arah hidupnya sendiri. Apalagi, ruang untuk berkarya sudah sangat luas.
Menurut Yenny, agama menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terhormat. Namun, makin ke sini, interpretasinya berbeda. Seolah perempuan tidak boleh aktif, cukup di rumah mengurus anak.
"Ada cara pandang salah kaprah yang harus diluruskan. Perjuangannya harus dari sisi formal dan informal, dengan tujuan agar setiap kebijakan harus ramah perempuan," tuturnya.
Dalam proses politik, misalnya, sudah ada kebijakan tentang kuota 30 persen untuk perempuan. "Dampak kebijakan tersebut sangat luar biasa. Sebab, dengan banyaknya perempuan yg terlibat dalam pengambilan kebijakan di tingkat mana pun, maka akan banyak terobosan yang menguntungkan perempuan," imbuhnya.
Meski demikian, Yenny mengingatkan, perempuan jangan hanya minta diistimewakan, difasilitasi atau diberi kemudahan.
"Perempuan juga perlu berjuang dan saling memberdayakan untuk menentukan masa depannya sendiri," tegas Yenny Wahid.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich