jpnn.com, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut manajemen politik penanganan pandemi COVID-19 pemerintah masih buruk.
Hal itu mengakibatkan maraknya klaim atas obat yang mampu menyembuhkan COVID-19.
BACA JUGA: Bikin Gaduh soal Obat Covid-19, Anji: Saya Akan Beri Penjelasan Lengkap
Pemerintah, kata dia, tidak fokus dalam menangani pandemi.
Pemerintah lebih fokus mengurusi masalah ekonomi ketimbang kesehatan selama pandemi.
BACA JUGA: Hadi Pranoto Klaim Punya Obat COVID-19, Kemenristek: Jangan Percaya!
"Kami lihat manajemen penanganan wabah pemerintah terlalu keliru dengan mengutamankan aspek ekonomi padahal pandemi menjadi dasar untuk diselesaikan lebih dahulu," kata Tulus dalam keterangan secara virtual, Senin (10/8).
Selain fokus ke ekonomi, kata Tulus, manajemen politik yang buruk dilengkapi dengan respons pejabat selama pandemi COVID-19.
BACA JUGA: Ini Kekhawatiran YLKI Terhadap Alat Tes Cepat yang Diimpor Indonesia
Misalnya, pejabat menguatkan narasi doa kunut anticorona, jamu Pancasila, dan kalung antivirus yang diproduksi eucalyptus.
"Ini artinya apa? Selevel pejabat publik juga memberikan contoh-contoh kurang baik dan produktif membodohkan dan kurang mencerdaskan, sehingga kalau saat ini ada klaim-klaim yang bermunculan itu sebenarnya efek dari itu semua," ungkap dia.
Lebih lanjut, kata Tulus, aspek psikologi konsumen mempengaruhi banyaknya klaim atas obat untuk COVID-19. Konsumen mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat selama pandemi.
Konsumen takut terinfeksi COVID-19. Terlebih lagi, kata Tulus, belum ada obat atau vaksin untuk COVID-19. Dari situ, masyarakat mencari jalan keluar sendiri-sendiri.
"Secara undang-undang memang boleh melakukan pengobatan secara mandiri, tetapi kalau produk itu dikomersialisasi dan iklan, itu jadi persoalan," beber Tulus.
Setelah itu literasi konsumen yang lemah turut menyumbang maraknya klaim obat menyembuhkan COVID-19. Bahkan, klaim itu marak di media sosial yang dipromosikan oleh publik figur.
"Kebetulan COVID-19 menjadi perhatian bersama, klaim-klaim yang serupa muncul marak," beber Tulus.
Kemudian Tulus menyinggung lemahnya penegakan hukum, sehingga klaim obat yang mampu menyembuhkan COVID-19 menjadi marak.
Misalnya saja, kata dia, sedikit sekali penegakan hukum kepada publik figur yang mengampanyekan obat COVID-19 yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Jadi masalah masuk ranah hukum divonis secara ringan. Terkait dengan obat, sampai proses hukum hasilnya tidak maksimal karena vonisnya ringan. Akibatnya kasus tersebut dapat diulang," ungkap dia.
Sebagai catatan, YLKI sendiri menerima banyak pengaduan terkait masalah masker, handsanitizer, dan klaim atas obat untuk menyembuhkan COVID-19.
Hal itu diketahui setelah YLKI mendata pengaduan sepanjang Maret sampai Juli 2020. Sebanyak 33,30 persen pengaduan ke YLKI sepanjang periode itu berkaitan dengan masker, handsanitizer, dan klaim atas obat untuk menyembuhkan COVID-19. (ast/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan