jpnn.com - JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan tuntutan jaksa soal korupsi dalam proyek bioremediasi terus menuai reaksi. Tidak hanya perwakilan pekerja dan mitra kerja Chevron, tapi juga protes datang dari pemerhati hukum Profit Sharing Contract (PSC).
Pakar hukum, Najib Ali Gisymar mengatakan bahwa putusan MA di tingkat kasasi untuk Ricksy Prematuri, direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Herland Bin Ompo, direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ) keduanya rekanan Chevron bakal jadi yurisprudensi baru yang berbahaya.
BACA JUGA: Spanduk Doa agar Jadi Menteri Beredar, RJ Lino: Itu Poster Liar
“Akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia. Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi, misalnya kredit macet di bank BUMN atau BUMD pun bisa dipidana korupsi. Bahkan orang yang telat bayar tagihan hutang ke bank pemerintah bisa diancam pidana korupsi karena tindakan itu dianggap bisa berpotensi merugikan negara,” kata Najib, Senin (6/10).
Dijelaskan Najib, jika tidak ada upaya hukum lainnya seperti Peninjauan Kembali (PK) maka maling uang di ATM bank milik pemerintah, maling motor pelat merah, maling bak sampah milik Pemkot bisa dipidana korupsi bukan lagi maling tapi koruptor. Makanya kata dia, pemerintah dan presiden harus turun tangan karena kasus ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara.
BACA JUGA: Fahri Hamzah: Pelantikan Jokowi-JK Bisa Terhambat
Najib menyatakan bahwa kedua kontraktor Chevron ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah. Menurutnya tidak mungkin mereka (Ricksy dan Herland) bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut.
“Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata,” tegas Najib.
BACA JUGA: Perppu Berlaku, KPU Segera Rumuskan Aturan Teknis Pilkada
Menurut Najib, dirinya sangat sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus Ricksy yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini. “Selain itu, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli pun sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus saksi ahli, plus pihak yang pernah kalah tender,” lanjutnya.
Seperti diketahui, kasus ini berawal pada pertengahan tahun 2012. Ada lima terdakwa yang divonis bersalah terkait dengan dugaan korupsi proyek normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi lahan di Riau. Mereka adalah Ricksy Prematury (Direktur PT Green Planet Indonesia), Herlan Bin Ompo (Direktur Sumigita Jaya), Endah Rumbiyanti alias Rumbi (Manajer Lingkungan SLN/SLS PT CPI), Widodo (Team Leader Sumatera Light North PT CPI) dan Kukuh Kertasafari (Team Leader SLS).
Sementara itu, pakar hukum lingkungan Linda Yanti Sulistiawati mengatakan bahwa UU lingkungan mestinya yang dipakai untuk mendakwa karena subyek yang didakwakan terkait peraturan di bidang lingkungan.
“Dakwaan terhadap keduanya dalam kasus ini terkait izin pengolahan limbah dan teknis pengerjaan bioremediasi serta dipakainya hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa yang semuanya terkait dengan peraturan dan undang-undang di bidang lingkungan. Jadi semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam UU Lingkungan tersebut,” ujar Linda dalam wawancara hari ini.
Menurut Linda, jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu Undang-Undang apalagi yang bersifat khusus seperti UU Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan UU tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud. Apabila kemudian perkara tersebut memiliki keterkaitan dengan UU lain maka menurut Linda, perlu dipastikan juga apakah UU lain tadi memang menjadi dominan untuk mengadilinya.
“Jika penegak hukum berkesimpulan bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan sehingga dianggap “proyek fiktif” atas dalih telah melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup soal teknik bioremediasi dan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan terkait izin pengolahan limbah. Maka mengingat kedua aturan itu berada di wilayah UU Lingkungan maka semestinya UU lingkungan yang dipakai," ucapnya.
Linda juga mengaku heran karena UU Tipikor yang digunakan MA untuk mendakwa dan memvonis kasus Bioremediasi tersebut. Alasanya, kedua kontraktor hanya memiliki hubungan kontraktual dengan Chevron bukan dengan pemerintah dan bukan menggunakan uang pemerintah. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gamawan Tegaskan, Perppu Sudah Berlaku
Redaktur : Tim Redaksi