jpnn.com - JAKARTA - Guru Besar Tata Negara, Fakulas Hukum Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pandangannya pada sidang praperadilan yang diajukan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/12) lalu.
Yusril memberi pandangan sebagai saksi ahli yang diajukan Firli Bahuri, terkait penetapan Ketua KPK nonaktif tersebut sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, oleh Polda Metro Jaya.
BACA JUGA: Sejumlah Pemuda dan Mahasiswa di Tarakan Gelar Aksi Dukung Firli
Menurutnya, alat bukti yang disajikan dalam menetapkan Firli sebagai tersangka tidak seusai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 dan pasal 184 KUHAP.
Meskipun sebanyak 91 orang telah diperiksa sebagai saksi, Yusril mengatakan tetap dihitung sebagai satu alat bukti, yakni keterangan saksi.
BACA JUGA: Ganjar Tegaskan Siap Menghadiri Forum Khusus yang Digagas KPK
Apabila dari 91 saksi tidak ada yang melihat, mendengar dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, maka alat bukti tersebut menjadi tidak sah secara hukum.
Yusril juga mengatakan keterangan saksi atau saksi tunggal yang tidak didukung dengan keterangan saksi lainnya atau alat bukti surat yang sah yang dapat membuktikan kebenaran fakta terjadinya suatu tindak pidana, berlaku asas Unus Testis Nullus Testis.
BACA JUGA: Pakar Hukum Bilang Begini Soal Kemungkinan Putusan Hakim Pada Praperadilan Firli
“Alat bukti keterangan saksi yang berdiri secara tunggal yang berbentuk pengakuan secara sepihak dari satu orang saja tanpa didukung dengan alat bukti keterangan saksi lainya dan/atau alat bukti surat yang sah lainnya (Pasal 184 KUHAP), maka keterangan saksi tunggal tersebut tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan MK 21/2014,” ujar Yusril sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Karena itu, Yusril mengatakan apabila penetapan tersangka hanya didasarkan satu alat bukti keterangan saksi tunggal, maka dengan sendirinya penetapan tersangka tidak sah dan tidak berdasar atas hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Karena tidak sesuai dengan ketentuan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang telah berubah atau berlaku setelah adanya Putusan MK tersebut,” ucapnya.
Sementara terkait keterangan delapan orang ahli yang dijadikan alat bukti, Yusril mengatakan, keterangan ahli dalam proses penyelidikan dan penyidikan juga harus dinilai dan digunakan secara hati-hati oleh penyelidik dan penyidik.
"Jika penetapan tersangka menggunakan alat bukti berupa keterangan ahli yang tentunya didengar pada tahap penyelidikan, maka hakim praperadilan berkewajiban menilai keterangan ahli itu dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, karena keterangan itu mengandung sifat speculative-thinking yang mungkin berguna pada tataran filsafat, lebih-lebih dalam metafisika, tetapi tidak banyak manfaatnya dalam konteks penerapan hukum yang konkret, yang memerlukan tingkat kepastian yang tinggi,” ucapnya.
Demikian pula terkait alat bukti surat berupa foto atau potret yang dijadikan sebagai alat bukti surat, Yusril menilai barang itu tidak dapat dijadikan alat bukti surat berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
“Potret atau foto itu tidak menerangkan apa-apa kecuali menunjukkan dua orang yang sedang duduk yang dikenal sebagai Firli dan SYL,” katanya.
Yusril mengatakan foto atau potret itu hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk bahwa memang ada pertemuan yang secara fisik dan faktual terjadi antara Firli dengan SYL.
“Sebagai alat bukti petunjuk, alat bukti seperti itu baru bisa ditampilkan dengan dihubungkan dengan alat-alat bukti yang lain yang terungkap dalam persidangan,” katanya.
Yusril juga menyoroti dokumen berupa surat anonim tertanggal 1 Oktober 2023 berjudul ‘Kronologi’. Menurutnya tidak dapat dipertanggungjawabkan siapa pembuat dan pengirimnya serta harus diuji kebenaran informasinya.
Maka surat tersebut semestinya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.
"Karena bisa saja surat tersebut merupakan surat yang ditujukan untuk memfitnah, karena surat tersebut tidak dapat membuktikan fakta kebenaran telah terjadinya suatu perbuatan atau tindak pidana sesuai Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU Tipikor yang seolah-olah dilakukan oleh Firli,” kata Yusril Ihza Mahendra. (gir/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gema Cita Gelar Aksi Dukung Firli, Minta Hakim Putus Perkara Dengan Nurani
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang