7 Alasan Perlunya Hukuman Berat Bagi Koruptor
jpnn.com - JAKARTA – Indonesia Corruption Watch menemukan bahwa vonis terhadap terdakwa korupsi masih ringan. Peneliti ICW Aradila Caesar mengatakan, jika berkaca pada tren putusan atau pemidanaan perkara korupsi 2013 hingga 2015 maka setidaknya ada tujuh permasalahan utama yang harus menjadi catatan.
Salah satunya adalah kecenderungan atau tren hukuman untuk pelaku korupsi semakin ringan. Sebanyak 79 persen terdakwa divonis ringan pada 2013 dan 78,6 persen terdakwa di 2014. Hal yang sama masih berulang di 2015 sebanyak 71,1 persen terdakwa divonis ringan.
“Putusan ringan tersebut sejak 2013 hingga 2015 didominasi oleh pidana penjara satu hingga satu tahun enam bulan,” kata Aradila Caesar, Minggu (7/2).
Selain itu, lanjut dia, jika diperhatikan lebih jauh masih terjadi fenomena yang berulang yaitu banyaknya hukuman satu tahun sampai satu tahun enam bulan dan hukuman tiga tahun enam bulan hingga empat tahun.
“Bisa jadi hal ini dikarenakan hakim lebih cenderung menjatuhkan hukuman minimal dalam ketentuan pasal 2 (4 tahun) dan pasal 3 (1 tahun)," katanya.
Kedua, ringannya vonis Pengadilan Tipikor juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan ringan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum di persidangan. Jika dilihat lebih jauh dari segi aktor dan dakwaan yang digunakan, jaksa umumnya menggunakan pasal 3 UU Tipikor dalam menuntut seorang terdakwa.
Penggunaan Pasal 3 UU Tipikor tentu bukan hal yang keliru jika ingin menjerat aktor yang berasal dari institusi pemerintahan atau lembaga negara lain. Konstruksi pasal 3 UU Tipikor yang ditujukan kepada penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatan sangat tepat dipergunakan. Namun hal ini menjadi kurang tepat jika dalam merumuskan tuntutan Jaksa cenderung menuntut hukuman paling ringan tanpa perhitungan yang tepat. Dalam tren vonis masih banyak ditemukan disparitas penuntutan. "Dalam hal ini masih banyak terdakwa yang dituntut jauh berbeda namun kerugian negara yang ditimbulkan hampir serupa,” paparnya.
Salah satu penyebab munculnya persoalan ini adalah kekeliruan konstruksi pidana dalam pasal 2 dan 3.