Ade Firman, antara 22 Menit dan Tulah Jadi Polantas
Apa perasaan Anda saat tahu akan menjadi polisi lalu lintas?
Gue tanya, gue jadi apa ternyata jadi polantas, menurut gue lebih humanis. Lu jadi hero, semuanya hero, tapi saat itu lu dikenal banyak masyarakat karena turun langsung ke sana. So gue happy banget.
Adakah riset yang Anda lalukan untuk peran tersebut?
Iya sih. Waktu itu gue pada Sabtu dan Minggu di Thamrin siang-siang, sampai jam 10.00 sampai jam 14.00 gue belajar mengatur lalu lintas sama kepolisian, sama Pak Eko, Jadi gue mau berterima kasih sama Pak Eko karena beliau yang sudah ngajarin gue gimana ngatur lalu lintas.
Apa manfaat terbesar dari riset yang kamu lakukan?
Gue ingin merasakan ambience (suasana, red) saja. Kalau gue enggak merasakan berada di situ jadi bagiamana memerankannya. Jadi itu tahapan yang gue ambil. Soalnya gue ngga ada (bagian) persenjataan dan tembak-tembakan.
Bagaimana rasanya memakai seragam polisi?
Panas banget, karena atribut Firman itu. Pertama gue harus menghafal atributnya, cara makai biar cepat bagaimana, karena kan itu ensemble-nya banyak banget, jadi gue harus selalu on pas take (pengambilan gambar, red).
Bagaimana pendalaman dan pengembangan karakter Firman?
Yang menarik dari film ini sutradaranya ada dua, Eugene Panji dan Myrna Paramita. Eugene lebih ke action, Myrna lebih ke dramanya. Dia bilang touch dramanya begini-begini ya dek, dia membebaskan gue malah, kayak banyak ngaca atau jargon dari gue yang milih jargon polisi yang oke menurut gue. Lebih merakyat, becanda dalam keseharian.
Apa yang ingin disampaikan film 22 Menit?
Gue sebagai pemain secara pribadi, gue sedih banget banyaknya korban-korban bom di luar sana, gue sempat berbicara dengan para korban, ternyata korban dari teroris itu dari semua lapisan masyarakat, siapa pun itu, mau berseragam, dari kelas mana, semuanya kena, bahkan yang ngga ada di situ bisa juga jadi korban misal yang lihat di medis sosial itu jadi viral. Banyak korban yang traumatik, kita bukan jadi waspada tapi ketakutan.(mg3/jpnn)