Adegan Film Soekarno tak Menggambarkan Maniak Seks
"Setelah menikahi Yurike, di usia ke-65, Bung Karno kembali menikah dengan Heldy Djafar yang masih berusia 18 tahun. Pernikahan itu tepatnya terjadi pada 1966," ungkapnya.
Menurutnya, kendati dalam posisi politik yang sudah keropos karena digempur kanan-kiri menyusul peristiwa 1 Oktober 1965, gelora kelelakian BK sama sekali masih belum padam. Huru-hara politik, pembantaian ratusan ribu simpatisan PKI, demonstrasi mahasiswa, dan krisis ekonomi yang parah juga tak membuatnya kehilangan minat pada perempuan.
"CIA menganggap riwayat macam itu sebagai 'bahan baku' yang meyakinkan untuk menggambarkan Bung Karno sebagai maniak seks, sebagaimana Salim Said menganggap scene-scene antara BK dan Fatmawati dalam film "Soekarno" sebagai 'bahan baku' yang meyakinkan untuk menyebut Hanung sedang menggambarkan Bung Karno sebagai maniak seks," ungkapnya.
Zen mengatakan, sebetulnya tidaklah sulit jika seorang sineas ingin menggambarkan Bung Karno sebagai seorang maniak. Kata dia, tinggal buatkan saja scene Bung Karno dan Inggit bercumbu di rumah Haji Sanusi, suaminya Inggit. Apalgi Bung Karno sendiri mengakui itu, bahkan dengan cukup rinci, di dalam memoar yang dikisahkan dan lantas ditulis oleh Cindy Adams. "Tapi itu tidak dilakukan oleh Hanung," ucapnya.
Diakui pula Zen, ia juga memperingatkan Hanung untuk tidak membuat scene semacam itu. Apalagi mencium istri orang dan menggambarkan Bung Karno mengerlingkan mata.
Makanya kata Zen, ketika tafsiran sejumlah orang dengan dua scane di film "Soekrano" tersebut haruslah didudukan dulu perkaranya. Bahwa anggapan maniak seks dalam dua scine tersebut sebenarnya tak ditujukan dalam film itu.
"Anggapan maniak seks itu sebenarnya tak ditujukan pada film 'Soekarno', tapi pada Bung Karno itu sendiri. Dan anggapan macam itu bukanlah barang baru dalam membincangkan riwayat BK," tandasnya. (awa/jpnn)