Adu Kuda di Muna Terancam Punah
Senin, 31 Desember 2012 – 01:54 WIB
Untuk atraksi perkelahian kuda, sambung koleganya La Ode Ngorugoru, tidak memiliki doa. "Kalau pakai doa, kudanya bisa tidak berkelahi,"timpalnya. Selama berpuluh tahun mengadu kuda, pria bergelar Kosangiano itu, tidak pernah mengalami cedera, kena tendangan kuda. Padahal potensi terkena tendangan kuda sangat terbuka, karena saat kuda berkelahi pawang kuda berada disamping kiri-kanan, depan dan belakang kuda. "Kita sudah tahu pergerakan kuda,"ungkapnya.
Atraksi perkelahian kuda, kata Dia, terus dipertahankan di Kecamatan Lawa, karena sudah menjadi ikon wisata. Banyak turis asing yang datang kesini (Lawa red), hanya untuk menyaksikan atraksi perkelahian kuda. Selain itu, setiap kali ada hajatan di Ibu Kota Kabupaten (Raha), mereka senantiasa dipanggil. "Saat HUT Sultra di Kendari, kami juga dipanggil untuk memperlihatkan atraksi perkelahian kuda,"ceritanya. Untuk mempertahankan tradisi tersebut, ilmu mengadu kuda diturunkan kepada anak-anak mereka.
La Ode Abjina, putra dari Abdul Karim, mengatakan, belajar mengadu kuda sejak umur 12 tahun. Awalnya dirinya menjadi joki, dalam setiap perlombaan balapan kuda. Saat memasuki SMA, Ia sudah mulai memegang tali kekang kuda atau berada disamping kiri-kanan kuda, saat berkelahi. Kini Abjina sudah mahir dalam mengadu kuda. Selain dirinya, seorang saudaranya juga mengikuti jejak ayahnya.