Agar Tak Turun Pangkat, NU Harus Tetap pada Khittah 1926
jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum DPP PPP, hasil Muktamar Surabaya, M Romahurmuziy mengatakan sebagai partai politik yang dilahirkan oleh antara lain NU, pada 1 Januari 1973, PPP menyerukan agar dalam Muktamar NU ke-33 dapat tercipta pelaksanaan musyawarah yang aspiratif, sejuk, dan tertib.
Mengenai konsep pemilihan pimpinan PBNU, baik Rais 'Aam maupun Ketua Umum Tanfidziyah, menurut Romahurmuziy, hendaknya didasarkan atas aspirasi mayoritas muktamirin, mengingat muktamar sesuai AD/ART NU adalah forum tertinggi kedaulatan anggota.
"Pemaksaan konsep tertentu, apakah ahlul halli wal 'aqdi (ahwa) atau lainnya, hanya akan menjauhkan muktamar dari semangat kedaulatan muktamirin," kata Romi, sapaan akrabnya, dalam rilisnya, Sabtu (1/8).
Hal terpenting, lanjutnya, pimpinan PBNU ke depan hendaknya figur yang mampu berdiri di atas dan untuk semua golongan. "Khittah NU 1926 yang ditegaskan dalam Muktamar NU di Situbondo (1984) dan Lirboyo (2009) harus teguh dijadikan pedoman, untuk tidak membuat NU turun pangkat menjadi milik golongan atau kekuatan politik tertentu," tegasnya.
Dengan besaran jumlah pengikut, ujar Romi, NU tidak sepatutnya direduksi menjadi hanya alat, bahkan underbouw kekuatan politik atau golongan tertentu. Pemimpin NU ke depan harus mampu meletakkan dirinya imparsial dalam menjawab tantangan global, bukan mereduksi diri pada kepentingan primordial, taktis, bahkan partisan.
Terkait jargon "Islam Nusantara" yang diniatkan mewadahi moderasi dan kesemestaan hadirnya Islam, Romi berharap hendaknya merupakan cerminan ideal Islam yang merupakan salah satu pilar peradaban.
"Jangan sampai menjadi jargon yang justru ditumpangi kepentingan liberalisme, pluralisme (bukan pluralitas), dan relativisme, agama," jelas Romi.
Dikatakan Romi, NU ke depan, adalah NU yang mengayomi seluruh agama, seluruh ormas Islam, seluruh partai politik, seluruh lembaga negara, seluruh lapisan sosial masyarakat, seluruh bangsa Indonesia, dan seluruh dunia.(fas/jpnn)