Aktivis HAM Ajak Publik Tangkal Glorifikasi tentang Soeharto
jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi mengkritisi glorifikasi tentang penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto jelang Pemilu 2019. Menurutnya, publik harus diberi informasi lain tentang catatan negatif era Presiden Kedua RI itu.
"Glorifikasi nama Soeharto perlu ditandingi dengan pendapat berbeda dan dilengkapi dengan sejumlah informasi agar kita tidak terperangkap dalam kultus pribadi," kata Hendardi melalui pesan tertulis ke media, Sabtu (8/12).
Hendardi mengatakan, sebenarnya sudah banyak studi tentang Soeharto yang dilakukan para ahli sejarah, ekonomi, politik hingga militer. Studi khusus tentang karier Soeharto di militer menunjukkan jenderal besar asal Yogyakarta itu menempati posisi strategis di TNI setelah peristiwa G 30S/PKI.
Menurut Hendardi, semula Seharto dipercaya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Kariernya melesat setelah pesaingnya di TNI AD seperti Ahmad Yani dan sejumlah jenderal lainnya terbunuh dalam peristiwa G 30S/PKI.
Hendardi menjelaskan, petinggi TNI AD yang tersisa kala itu adalah Soeharto dan Mayjen Pranoto Reksosamodra. Selanjutnya, Presiden Soekarno menunjuk Pranoto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (AD).
Namun, kata Hendarso, pada 14 Oktober 1965 Soeharto sukses meraih jabatan Panglima AD merangkap Panglima Kostrad. Soeharto juga menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).
"Kebesaran Soeharto adalah sukses memborong tiga jabatan panglima militer sekaligus hanya dalam dua minggu saja," kata Hendardi.
Namun, pegiat hak asasi manusia (HAM) itu mencatat adanya kondisi mencekam pada era 1965-1966. Hendardi mengatakan, korban operasi pemulihan keamanan dan ketertiban itu mencapai 500 ribu orang.