Alkoholisme: Antara Harapan dan Balas Dendam
Oleh; Riza Multazam Luthfy*jpnn.com - MIRIS. Itulah kesan kita saat mendengar berita kematian warga gara-gara minuman keras (miras) oplosan. Hal tersebut tentu saja merupakan isu seksi yang beberapa pekan menjadi trending topic di koran, televisi, dan media sosial.
Jika kita perhatikan, para korban peristiwa tragis-melodramatis tersebut adalah orang-orang berlatar ekonomi pas-pasan. Orang-orang dengan kategori sosial menengah-lapisan bawah (lower-middle class) yang rela merogoh kocek demi mereguk kesenangan dan kepuasan sesaat.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali itulah peribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dialami orang-orang kecil di atas. Selain berjuang melawan racun yang bersarang dalam tubuh, mereka harus menelan kesialan lain berupa aksi penyalahan beragam pihak atas tindakan mereka.
Padahal, mereka hanyalah korban oknum yang bernafsu mencari segepok keuntungan meski dengan mengesampingkan kepentingan orang lain. Tanpa memikirkan imbasnya, bahan-bahan mengandung racun dicampurkan pada miras beralkohol. Takaran 30 mililiter sudah cukup mengundang ajal. Sebab, saat menenggak miras oplosan itulah, tubuh manusia akan mengubah metanol menjadi formaldehida atau formalin.
Dalam logika produsen dan penjual miras oplosan, hak orang lain halal dikorbankan asalkan kepentingan pribadi (private interest) bisa terwujud. Produksi miras oplosan terus berlanjut. Sebab, hanya bermodal kecil, seseorang bisa meraup untung puluhan juta hingga miliaran rupiah. Itu diperparah dengan kenyataan bahwa minuman beralkohol legal lebih sulit didapat karena penjualannya dibatasi.
Korban-korban miras oplosan semakin tersudut karena selama ini kita lebih disibukkan dengan data statistik mengenai maraknya kriminalitas, meningkatnya degradasi moral, menurunnya tingkat kecerdasan, dangkalnya kebudayaan, serta rentannya hubungan sosial sebagai dampak negatif konsumsi miras (alkoholisme). Padahal, rasanya kurang berimbang jika kita terburu-terburu menuding mereka sebagai kambing hitam tanpa menggali lebih dalam motif dasar mengapa mereka mengonsumsi miras.
Bila ditelisik, ada sejumlah alasan mengapa akhir-akhir ini alkoholisme begitu marak. Pertama, ia menjadi final solution bagi orang-orang kecil saat sudah tidak ada yang dapat diharapkan. Mereka sudah mentok dengan kehidupan yang lebih berpihak kepada orang-orang berdompet tebal.
Dengan mabuk, ada keyakinan bahwa mereka masih menyimpan harapan pada hari esok. Harapan yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar fatamorgana. Dalam minda mereka, seolah terpatri slogan penghibur: ”Kesusahan boleh datang silih berganti asalkan satu kesenangan bisa diraih hari ini”. Mereka sadar bahwa sesaat setelah pengaruh miras hilang, mereka akan bergaul kembali dengan penderitaan.